A PHP Error was encountered

Severity: 8192

Message: Function create_function() is deprecated

Filename: controllers/Post.php

Line Number: 84

Backtrace:

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/application/controllers/Post.php
Line: 84
Function: _error_handler

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/application/controllers/Post.php
Line: 22
Function: autop

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/index.php
Line: 315
Function: require_once

GUIDE


Panduan Menuju Pantai Brighton Melbourne, Australia Saat Musim Dingin

Makmur Dimila — 11 February 2019

Pagi Minggu itu kabut menyelimuti gedung-gedung di luar apartemen di Carlton, Melbourne, Australia. Di layar handphone saya, muncul kondisi cuaca terbaru: foggy dengan temperatur 5 derajat celcius. Cukup hangat bagi warga lokal, tapi cukup membuat saya yang biasa berlimpah matahari hangat di Aceh ini menggigil kedinginan.

Bagaimana cara menuju kesana?

Di brosur panduan wisata yang dikeluarkan Destination Melbourne, ada tiga alat transportasi untuk mencapai ke Pantai Brighton. Bisa naik kereta tujuan Sandringham Line, Gardenvale ke Stasiun Sandringham atau Frankston Line, Highett, dan Stasiun Cheltenham, naik bus nomor 600, 922 atau 923 tujuan Stasiun Sandringham, dan trem 64 arah Brighton East.

Trem menjadi transportasi paling mudah saya jumpai dari apartemen di Carlton. Dari taman belakang Melbourne University di Swanston Street, saya dan seorang kawan masuk trem 64, menempelkan kartu Myki pada kotak gesek, lalu duduk tenang di bangku. Kami melewati Sungai Yarra di pusat Kota Melbourne, meyakinkan saya bahwa trem ini benar-benar membawa kami ke Pantai Brighton. Namun saya mulai khawatir ketika trem menempuh satu underpass begitu sampai di titik menuju Pantai Saint Kilda yang kami datangi minggu lalu. Di aplikasi Navigation ponsel saya pun trem menjauh dari garis Pantai Saint Kilda di selatan kota ini, mengambil jalur Napean Highway. Nampaknya, trem akan melalui jalur yang sama ke Saint Kilda, karena pantai ini terletak pada garis yang sama dengan Brighton. Tapi ah, mungkin saja kereta listrik ini menempuh jalur memutar. Tak mungkin kami salah jalan.

Setelah satu jam, kami memang sudah memasuki kawasan Brighton Timur, tapi belum ada tanda-tanda akses ke lokasi wisata, hingga akhirnya tinggal kami berdua begitu sopir menghentikan trem di stasiun Centre Road. Supir beranjak keluar. Akhirnya kumpulkan keberanian dan nekat bertanya.

'Kalian bisa naik bus dari sini. Sekitar 4-5 menit, turunlah di pusat perbelanjaan. Setelah itu kalian masuk ke Brighton East Railway Station. Jika kalian mengambil jalur kiri kalian akan sampai di Pantai Brighton.'

Bapak supir memberi saran saat kami tanya cara mencapai Pantai Brighton. Sebenarnya kami juga bisa naik bus dari Centre Road, tapi hari Minggu adalah hari yang buruk untuk mendapatkan bus, menurut si bapak supir.

Dia berbalik arah ke ruang kemudi satu lagi. Beberapa penumpang mulai masuk. Kami turun begitu supir itu turun di Alfred Street, Caulfield, sebagaimana sarannya. Dia digantikan sopir lain. Dia pun menunjukkan kami cara mendapatkan bus.

'Jangan cemas tentang masalah nomor bus,' kata dia saat kami tanyakan harus naik bus nomor berapa. Kami menanti di bus stop. Lekas naik begitu busnya datang. Kami tempelkan Myki, tapi tiba-tiba seorang tua memberitahu bahwa kami tak perlu lakukan itu. Gratis!

Setelah 4 menit, kami turun di Ripon Grove, Elsternwick. Senangnya, kami melihat stasiun. Memasukinya. Hanya perlu tempel kartu Myki begitu check in stasiun. Kami harus naik kereta di Platform 2 jika ingin ke Pantai Brighton.

Kereta mulai berjalan. “Next stop is Brighton Beach” muncul di langit-langit kereta. Kami keluar pada pemberhentian keempat. Kami harus tempel ulang Myki sebagai tanda telah keluar dari armada Public Transport Victoria, Australia. Hanya perlu mengeluarkan kocek sekitar 3 Dolar Australia sekali sentuh.

Apa yang akan kamu temukan di sana?

Kami jalan kaki, menyeberang jalan kota, dan mencapai The Bay Trail di tepi pantai yang berada di balik pembatas jalan. Tapi saya tak melihat adanya rumah warna-warni di tepi pantai yang menjadi ciri khas Pantai Brighton. Saya tanya seorang kawan yang sudah pernah kemari via WhatsApp. Saya bahkan mengirim foto lokasi kami, untuk meyakinkannya. Dia menjawab.

'Terus berjalan,' kata dia.

Berjalan tak begitu jauh, akhirnya kami melihat sederet rumah warna-warni di kejauhan. Kami terus menyusuri tepi satu tebing. Satu keluarga menggelar piknik di tepi tebing. Kami turun untuk mencapai tepi pantai berpasir coklat. Butiran pasirnya lembut, seakan-akan mengisap sepatu setiap kaki melangkah. Di tepi pantai, ada yang sedang memotret, membawa anjing, memancing, hingga kami tiba persis di depan rumah warna biru bernomor 90. Sejak itulah, saya mulai menikmati pantai ini setelah menempuh trip dua jam dari Carlton.

Apa yang bisa dilakukan di sini?

Berpose dengan latar Bathing Boxes

Sembilan puluh rumah terbuat dari papan yang bernama Bathing Boxes berjejer di halaman pantai, memanjang sekitar 200 meter ke barat. Merah, kuning, hijau, biru, ungu, pink, coklat, menghiasi rumah seukuran 2 x 2 meter itu. Hampir semua turis mengambil gambar dengan latar rumah itu. Saya sendiri bergaya pada rumah dengan motif kepiting, kawan saya di dinding berwarna pelangi. Ada sekelompok turis asal Indonesia lain. Mereka heboh berakting di dinding dengan lukisan binatang dengan sarung tinju. Pasangan muda bermata sipit mecoba levitasi fotografi dengan kamera ditempatkan di atas pasir dan diatur menggunakan self timer.

Menghabiskan waktu bersama orang terkasih ditemani kawanan burung camar

pantai-brighton Foto oleh Makmur Dimila

Semakin jauh ke barat, nomor-nomor dari rumah itu semakin kecil, hingga mencapai rumah berwarna merah kuning bernomor 1. Di bibir pantai depan rumah ini, sepasang muda duduk di atas sehelai handuk hijau tua menghadap lautan. Mereka hangatkan tubuh dengan satu handuk putih berdua. Belasan burung camar laut mengerubungi mereka yang asyik saling bertukar cerita sembari menghabiskan cemilan.

Bermain kayak

Sebelum keluar dari pantai yang dikelola Bayside City Council ini, saya melihat seorang pria keluar dari lautan dengan mengusung kayak warna merah. Mungkin pada kunjungan selanjutnya, saya bisa juga bermain kayak di Pantai Brighton yang berombak tenang.

Bermalam di pantai

Awalnya saya berencana bermalam di pantai yang juga dikenal sebagai Dendy Beach ini, dengan menyewa salah satu bathing box itu. Tapi saya perhatikan, semuanya tergembok dan saya juga tidak sempat menemukan tempat pemesanannya. Kalau saja ada, sepertinya saya akan sendirian, sebab Victoria sedang musim dingin. Jika saat siang saja dinginnya minta pakaian berlapis-lapis, apalagi malam.

Ada gambar di dinding Brighton Life Saving Club, sebuah rumah pertolongan untuk orang tenggelam, tenda-tenda tergelar di depan bathing boxes dengan latar skyline Kota Melbourne nun jauh. Barangkali, rumah-rumah ini hanya disewa pada musim panas.

Di bibir pantai depan rumah ini, sepasang muda duduk di atas sehelai handuk hijau tua menghadap lautan. Mereka hangatkan tubuh dengan satu handuk putih berdua. Belasan burung camar laut mengerubungi mereka yang asyik saling bertukar cerita sembari menghabiskan cemilan.

Masa lalu Bathing Boxes

pantai-brighton-2 Foto oleh Makmur Dimila

Kami keluar Pantai Brighton dari jalur utama, di dekat gedung Brighton Life Saving Club. Di jalur setapak, di antara pepohonan, ada beberapa lukisan dan foto dipajang. Pertama, lukisan Summer Sea 1895 karya Frederick (Fred) McCubbin. Tahun 1985 adalah tahun yang penting bagi orang Australia dalam menunjukkan identitas nasionalnya. Mulai dari penulis hingga pelukis. Prof. Fred McCubbin yang mulai tinggal di Brigton saat itu, menjadikan Pantai Brighton sebagai objek lukisan. Dia menjadikan istrinya yang duduk menyelonjorkan kaki di pantai sebagai model dalam goresan catnya.

Lukisan The Journey of Boon Wurrung Women, menarik perhatian saya selanjutnya. Gambar abstrak karya Vicki Couzens, menyimbolkan garis pantai di Bayside sebagai sekeping sejarah perempuan dari suku Boon Wurrung ribuan tahun lalu. Perempuan dari suku aborigin Bunjil dan Waarn, sering membuat pertemuan di sepanjang garis Pantai Beaumaris dan Pantai Black Rock yang berada di timur Pantai Brighton, untuk tertawa, bergosip, hingga bernyanyi.

Goresan Charles Douglas (CD) Richardson juga menghentikan langkah saya, meskipun angin pantai membuat telapak tangan nyaris membeku. Brighton Beach 1914, lukisan warnanya menggambarkan kondisi pantai yang baru saya kunjungi itu masih asri, dibatasi hutan. Dia salah satu murid Fred McCubbin.

Terakhir, satu foto hitam putih, berjudul Bathing Boxes Dendy Street Beach. Tiga pasang turis berjalan di depan rumah-rumah yang melengkung di garis pantai, dengan gedung-gedung pencakar langit menjadi latar di belakangnya. Panorama yang menjadi favorit pelukis dan fotografer. Di sisi foto ini juga disebutkan, beberapa Bathing Boxes mulai dibangun tahun 1862. Kemudian mencapai 200 buah pada tahun 1930. Badai 1934 menghancurkan sebagian Bathing Boxes. Kini rumah-rumah pantai itu dilindungi oleh pihak Planning Scheme Heritage Overlay.

Romantisme matahari terbenam

Jingga mulai mewarnai langit ketika kami meninggalkan lukisan-lukisan dan foto sejarah Bathing Boxes, sekitar pukul 17.30 waktu setempat. Semburat cahayanya membentuk jalur bayangan indah jalur setapak sepanjang tepi jalan Esplanade. Hari yang berkabut menghasilkan matahari yang blur.

Bagaimana cara kembali pulang?

Petugas Stasiun Pantai Brighton mengumumkan bahwa tidak ada pelayanan kereta tujuan kota karena baru terjadi sebuah kecelakaan. Dia sarankan kami untuk menunggu bus di Jalan Esplanade. Bersama penumpang lain tujuan sama, bus nomor 923 disesaki penumpang. Sampai di Stasiun Elsternwick, bus berhenti dan semua penumpang harus pindah bus. Seruan kecewa dan sumpah serapah penumpang bermunculan. Di luar sebenarnya ada beberapa bus yang kosong, namun semuanya dalam kondisi “Not in Service”.

Perut mulai keroncongan, yang ada hanya air mineral dalam tas. Saya tenggak beberapa teguk, setidaknya bisa untuk mengisi dan mampu "menipu" perut saya . Akhirnya, kami naik sebuah trem yang kemudian berhenti lagi di Stasiun Caulfield. Dari sini, sembari menunggu trem 3A arah kota pukul 19.09 waktu setempat, kami menyambangi convention store untuk mengganjal perut yang makin berbunyi nyaring. Setelah cukup mengisi perut, saya dan kawan masuk dalam trem itu, dan saling menertawakan diri kami masing-masing.

Bagikan artikel ini :