3 Pesan Penting Untuk Pariwisata Aceh
Rumah semi permanen abu-abu nomor 13 itu agak tersembunyi oleh bangunan lain di Jalan Residen Danubroto, Gampong Geuceu Kayee Jatoe, Banda Aceh. Suara mesin jahit terdengar dari satu ruang di bagian sayap kanan rumah.
Di bagian luar atas jendela, dipasang poster Workshop Ija Kroeng. Di bawahnya, beberapa tanaman menjalar di teras. Di halaman akun Instagram ijakroeng, sisi itu kerap muncul, dengan pose pengunjung yang beragam, seperti penggila kuliner Benu Buloe.
Hanya ada dua meja mesin jahit di dalam ruangan 4 x 4 meter. Seorang pria duduk di salah satu mesin jahit. Kedua kakinya menapaki mesin di bawah meja, muncul-tenggelam. Seirama dengan tangannya menyeret kain hitam polos ke mata jarum.
Suara berisik nan syahdu yang dihasilkannya bikin pikiran melayang ke masa kecil, saat mesin jahit masih sering dipakai di rumah. Ketika ada kancing baju saya yang sobek, ibu dengan senang hati menambal.
Ada satu meja besar tempat Khairul merapikan hasil jahitan. Di satu sisi dinding, ditempeli plakat-plakat penghargaan untuk partisipasi Ija Kroeng dalam even lokal dan nasional. Di sisi lain, saya terperanjat. Dalam satu bingkai kaca, logo Ija Kroeng dibubuhi ungkapan “ide kreatif jangan mati hanya di meja diskusi.”
“Di ruang inilah, saya produksi Ija Kroeng,” Khairul Fajri Yahya membuka obrolan.
Dia merintis industri rumah tangga ini berdasar pengalamannya dalam 'bersarung'. Ia tak pernah nyaman dengan desain produk yang sudah ada. Hingga muncul ide mematenkan pelafalan ija kroeng (kain sarung) oleh masyarakat Aceh menjadi nama merek produknya, dengan desain lebih inovatif.
***
Luc Citrinot, Chief Editor Travel Daily News untuk wilayah Asia Pasifik, pernah bilang pada saya, dia sering mendengar cerita-cerita kekayaan budaya Indonesia. Tapi ia kesal saat mendatangi daerah-daerah tertentu di Nusatara ini, sulit melihat bagaimana budaya itu dijalankan, termasuk di Aceh.
Kala itu Luc merupakan salah satu tim media partner dalam Tourism Indonesia Mart & Expo (TIME) ke-20 yang berlangsung di Banda Aceh, Oktober 2014. Pria Perancis ini suka keliling Asia untuk mengenal budaya daerah. Di Pasar Wisata Indonesia itu, dia beli songket aceh dan kopiah aceh. Dengan benda terakhir dia tutupi kepala botaknya. “Sayangnya para penjual tidak tahu di mana saya bisa melihat pembuatan kopiah ini,” tuturnya.
Pada hari terakhir event, peserta TIME diberi kesempatan tur ke Pulau Weh. “Saya tidak ikut. Saya mau lihat budaya Aceh di sekitar Kota Banda Aceh saja,” katanya.
Sepotong memori itu seperti dijawab oleh kreativitas Khairul sekarang. Alumni Mecanical Engineer di Jerman ini pun menggugah saya. Inilah 3 pesan penting untuk pariwisata Aceh
1. Membumikan budaya bersarung
Di sinilah para pengunjung sering mencetak memorinya pernah ke Workshop Ija Kroeng Sehari-hari mengenakan sarung sejatinya budaya masyarakat Melayu sejak berabad silam. Pun Aceh. Masyarakat Tanah Rencong ini diyakini telah kenakan sarung semenjak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Sarung, menurut Khairul, atribut yang dikenakan pedagang muslim Timur Tengah saat masuk ke Aceh. Seiring penyebaran islam, penampilan bersarung turut tertular ke masyarakat pribumi. Namun modernisme melunturkan budaya bersarung pada kaum muda. Pergeseran nilai budaya ini melatarbelakangi ide Khairul patenkan brand Ija Kroeng pada Maret 2015. “Jadi selama ini giliran anak muda ber-fashion dalam ibadah tidak dijawab oleh produsen besar. Yang dijawab apa? Keinginan orang tua semua.” Dia menampilkan konsep kain katun polos. Sehingga tak ‘menambah usia’ anak muda yang senang pakai sarung. Bahkan tetap percaya diri ke warung kopi. Ija Kroeng seri orisinal dirilis hanya dua warna, hitam dan putih. Seri ini diproduksi all season. Sementara bagi yang tak suka model polos, Ija Kroeng produksi seri edisi terbatas, dan seri budaya motif daerah Aceh.
2. Sedia sarung sebelum ‘hujan turis asing’ turun
Setiap turis asing seharusnya mendapat pengalaman seperti ini ketika ke Aceh
Aceh Serambi Mekkah. Sebuah ironi ketika konsep wisata islami yang digaung-gaungkan selama ini belum pernah membuat provinsi paling barat indonesia ini dinobatkan sebagai destinasi wisata halal terbaik.
Pelaksanaan syariat islam seharusnya ikut membentuk konsep wisata islami di Aceh. Setiap turis asing datang ke Aceh misalnya dipakaikan sarung. Mereka pun harus bawa sarung sebagai oleh-oleh.
Saya teringat obrolan dengan Pak Tazbir di acara TIME 2014 yang saat itu menjabat Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri pada Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif RI.
Salah satu sudut pandangnya tertuju pada ide penyambutan wisatawan asing. Turis sebelum meninggalkan Bandara Iskandar Muda, Blangbintang, wajib masuk ke satu ruang khusus. Katakanlah “Kamar Pengalaman Muslim”.
Moslem Experience Room itu dipenuhi poster-poster cara masyarakat Aceh berpakaian. Mulai dari yang mengenakan sarung, peci, hingga perempuan berjilbab.
Atribut yang dipakai model dalam poster itu pun semua tersedia dalam ruangan itu. Khusus ditujukan bagi wisatawan asing maupun domestik yang penasaran dengan islam di Aceh. Mereka boleh mengenakannya, membelinya, atau sekadar melihat-lihat. Beda tipis dengan konsep mengunjungi Candi Borobudur—setiap pengunjung dipakaikan batik oleh petugas.
“Bayangkan misalnya turis asing itu mengambil foto selfie setelah pakai kerudung, dengan ekspresi senang telah mencoba hal baru. Lalu dibagikan ke teman-temanya di kampung halaman, itu memberi image positif untuk Aceh. Iya, kan?” ujar Tazbir.
Ide Pak Tazbir saat itu saya pikir klop dengan ide Khairul. Sejumlah sarung merek Ija Kroeng ditempatkan di Moslem Experience Room. Kain polos Ija Kroeng seri original akan tampak elegen. Pun dengan produk Ija Kroeng seri budaya, pemberian ornamen khas daerah pada bagian bawah sarung akan membuat turis penasaran untuk mengetahui lebih soal budaya Aceh.
Sedia payung sebelum hujan. Sedia sarung sebelum ‘hujan kunjungan’ turis asing menurun di Aceh.
3. Menggerakkan industri kreatif dari hilir ke hulu
Sepuluh tahun sudah Aceh damai. Pemerintah kini gencar ‘menjemput’ investor, membangun pabrik-pabrik industri, menyulap tempat yang layaknya masih seperti bayi baru merangkak ini menjadi pemuda dewasa yang gagah dan tampan.
“Kita baru bisa merangkak sudah minta lari, tidak bisa,” ujar Khairul.
Pemimpin mau bisnis dari hulu ke hilir. Dari atas ke bawah. Investor diundang. Namun Aceh belum punya pabrik, sumber daya manusia kurang dan mentalitas kerja belum terpatri.
“Investor itu pebisnis. Dia punya business plan juga, jika kira-kira rugi, dia tidak mau investasi.”
Sebab itu, dengan Ija Kroeng ia punya misi menggerakkan bisnis dari hilir ke hulu. Bawah ke atas. Diperbanyaknya workshop industri rumah tangga. Ia targetkan di setiap daerah di Aceh harus ada workshop usaha mikro.
Begitulah yang dilakukan pebisnis garmen di Jawa Barat. Bukan instan. Pun Khairul. Dalam rencana jangka panjang Ija Kroeng, dia pun ingin lahirnya pabrik industri garmen di Aceh.
“Kalaulah tak tercapai dalam satu generasi ini, di generasi kedua insyaallah pasti.”
Ija Kroeng dengan segala keterbatasannya berani menduniakan kain sarung made in lokal. Bukan semata-semata berbisnis tapi turut melindungi identitas budaya.[]