4 Desa Tradisional yang Nggak Boleh Kamu Lewatkan Saat Berada di Lombok
Lombok tak hanya tentang pantai dan wisata alam menakjubkan lainnya. Desa-desa adat di sana dengan berbagai kearifan lokalnya akan memberimu pengalaman berbeda.
Mari menyusuri Lombok tempo dulu. Ini dia desa-desa tradisional yang bisa kamu kunjungi untuk merasakan Lombok yang sesungguhnya.
1. Desa Dusun Beleq
Awalnya saya kira akan diajak ke Desa Bayan Beleq, yang ceritanya pernah saya baca di ebook perjalanan seseorang, tapi ternyata saya salah. Saya diajak ke Dusun Beleq, sebuah dusun yang terletak di daerah Gumantar, Kecamatan Khayangan, Lombok Utara. Desa ini sedikit jauh dari pertigaan Kecamatan Khayangan, kira-kira 30-40 menit waktu yang kita butuhkan untuk bisa sampai kesana dengan mengendarai sepeda motor. Kita akan memasuki kawasan pemukiman yang sepi dengan sesekali melewati hutan.
Sesampainya di sana, kamu akan dibuat kagum dengan arsitekturnya. Desa ini sangat rapi, beberapa rumah tradisional berdiri tegak di dalam lahan yang berpagar.
Dusun ini di huni oleh 76 kepala keluarga yang kesemuanya adalah orang Bayan. Orang Bayan disini tak jauh berbeda dengan Bayan Beleq. Acara-acara besar mereka dilakukan pada tanggalan yang sama, seperti Maulid Nabi yang dilakukan di bulan Januari tahun depan, saat purnama.
Rumah-rumah tradisional yang berdiri berada di dalam lingkup pagar dengan luas area kurang lebih 2 ha, dalam lingkup area yang dipagar, tak boleh ada listrik, dan bangunan-bangunan modern. Mereka juga memiliki tatanan adat dimana ada Penghulu, Mangku (pemegang pemerintahan), Pamekel (sejenis jaksa), Raden, dan Turun (sejenis polisi). Fungsi struktur adat ini berjalan dengan baik hingga saat ini.
Lalu ada hel manrik lain di sini yang disebut sebagai Watu telu atau Metu Telu. Watu Telu merujuk pada hal-hal yang mengisi dunia ini. Segala hal yang ada di dunia ini ada karena adanya kelahiran, bertelur, dan tumbuh. Itulah kearifan lokal mereka.
Masyarakat disini cukup fleksibel dengan adanya perubahan zaman. Karena menurut mereka, leluhur sudah memperkirakan hal itu sejak dahulu, namun mereka tak boleh mendahului perubahan itu. Intinya, mereka boleh menyesuaikan dengan jaman, ketika semua warganya telah mampu menyesuaikan diri, tak boleh hanya orang per orang saja. Misalkan, jika hanya seorang saja yang berpakaian, sedangkan yang lain belum mampu berpakain, biasanya orang yang berpakaian itu sakit.
Mereka juga membolehkan adanya pendidikan formal, dulu hanya 4 orang yang bersekolah karena jarak yang ditempuh 13km pulang-pergi untuk berjalan. Nah, pada akhirnya 4 orang tadilah yang akhirnya berhasil membawa sumber air yang berkilo-kilometer hingga bisa hanya berjarak 200m di luar pagar area pemukiman. Disini saya melihat potret masyarakat tradisional yang belajar mengharmonisasikan aturan adat dengan perubahan jaman.
2. Desa Bayan Beleq
Saya masih penasaran dengan Desa Bayan Beleq dengan masjid yang dibangun pada abad ke-16. Bayan Beleq, terkenal dengan ajaran Islam Watu Telu. Ajaran yang berpegang pada tiga hal, yaitu agama, adat, dan pemerintah, serta Watu telu yang menggambarkan keberadaan manusia di bumi layaknya yang diceritakan Masyarakat di Dusun Beleq. Masyarakat di sini cenderung untuk mengharmonisasikan ketiganya.
Masjid Bayan Beleq konon dibangun oleh Syeikh Gaus Abdul Razak yang merupakan salah seorang penyebar agama islam di Lombok. Masjid yang berbentuk bujur sangkar dengan ketinggian 125cm ini berdiri ditas pondasi batu belah. Atapnya bukan terbuat dari rumbia atau ilalang, melainkan dari bambu.
Tepat di dekat pintu masuk, terdapat gentong air yang terbuat dari tanah liat yang terselip diantara dahan pohon kamboja. Menurut Ono, salah satu pemuda Bayan yang kebetulan berada di area masjid, gentong itu akan diisi air yang digunakan untuk berwudhu. Hari itu selepas hujan, hingga ada sedikit air yang terperangkap di dalam gentong.
Saya sedikit mengintip dari celah pintu masjid. Masjid itu tidak terlalu besar, beralaskan tanah, dan didalamnya ada satu bedug dengan ukuran yang cukup besar.
Meski ukuran masjid tak terlalu besar, namun cukup untuk menampung seratus orang. Saat Idul Fitri atau Maulid Nabi pun mereka sholat di masjid ini.
Di sekitar masjid terdapat enam bangunan kecil-kecil yang merupakan makam para leluhur masyarakat Bayan. Sambil berkeliling masjid, saya bertanya mengenai Maulid Nabi yang merupakan salah satu acara terbesar untuk masyarakat Bayan.
“Kalau pas acara adat, kita wajib pake sarung, pakai sapoq (iket kepala), ada pemotongan sapi, kerbau, dan kambing, pesta besar, rame banget disini, dan ada Presean (seni tradisional Lombok) yang kayak perang-perang pake pedang dan perisai dari bambu. Datang lagi aja kesini bulan depan,” Ono menawarkan.
Ia juga menawarkan saya untuk mampir ke rumahnya dan melihat proses menenun. Tapi sayang, hujan rintik-rintik tak mau pergi juga, malah semakin deras, hingga saya hanya sempat melihat seorang ibu menenun di dekat masjid. Saya hanya mengintip Desa Bayan yang tak jauh berbeda dengan Desa Dusun Beleq. Satu yang agak berbeda, banyak warga yang menenun kain khas Bayan disini, dengan motif yang berbeda dari Tenun Sasak.
Desa ini berlokasi tak jauh dari Air Terjun Tiu Kelep, terletak di pinggir jalan, aksesnya pun mudah. Datanglah bulan Januari saat Maulid Nabi, agar bisa merasakan meriahnya acara tersebut seperti apa yang Ono ceritakan pada saya.
3. Desa Segenter
Meski berada di Kecamatan Bayan, Lombok Utara, namun masyarakat Segenter bukanlah orang Bayan. Mereka merupakan bagian dari masyarakat Sasak, sama halnya mereka yang tinggal di Desa Sade maupun Ende.
Saat memasuki Segenter ekspektasi saya tentang sebuah desa tradisional sedikit bergeser. Memang masih banyak rumah-rumah tradisional berdiri tegak dan berugak di setiap pelatarannya. Rumah mereka dibangun secara memanjang berhadapan dengan berugak-berugak yang berderet di tengahnya. Namun, diantara tatanan tradisional, terseliplah kehidupan modern dengan rumah-rumah beton berdiri kokoh.
Hingga saat Desember tahun lalu saya kesana, mereka bercerita sedang mempersiapkan acara untuk Maulid Nabi yang jatuh pada pertengahan Januari 2015 menurut penanggalan mereka. Ternyata Maulid Nabi merupakan acara besar dari masyarakat Bayan maupun Sasak.
Penduduk di desa ini mayoritas petani, sehingga saat saya berkunjung ke sana menjelang siang hari, desa ini sepi, hanya beberapa balita, dan orang tua yang sedang beraktivitas disana.
Desa Segenter berada tepat di pinggir jalan, jadi tidak ada salahnya mampir sejenak ketika kembali dari mendaki Rinjani via Senaru.
4. Desa Ende
Desa Ende terletak di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Meskipun sama-sama sebagai desa wisata, namun Ende tak setenar Sade. Berlokasi tak jauh dari Bandara dan hanya 5 menit sebelum Desa Sade. Tidak banyak wisatawan yang datang kemari. Padahal menurut saya tempat ini jauh lebih nyaman daripada Sade yang sesak pengunjung. Area yang lebih luas dan tidak ada yang berjualan menjadikan kita leluasa mengeksplor tempat ini.
Menurut salah satu teman, yang kebetulan warga setempat, di Ende, masyarakatnya kebanyakan bertani di ladang, beberapa yang bertenun serta membuat kerajinan tangan, jika sedang tak musim bertani. Hasil bertenun mereka kumpulkan di koperasi desa, sehingga tak ada yang berjualan di rumah masing-masing.
Kami kemudian berkeliling untuk melihat desa ini. Tidak terlalu banyak warga yang tinggal di kampung ini, namun mayoritas rumah-rumah di sini masih tradisional, masih terdapat lumbung padi juga. Atapnya terbuat dari alang-alang, dindingnya menggunakan bilik bambu, dan lantainya masih menggunakan campuran kotoran sapi atau kebau dan tanah liat. Khas masyarakat Sasak.
Saya diajak untuk memasuki salah-satu rumah disana. Di dalam rumah terdapat tungku-tungku untuk memasak. Rumah ini tak ditinggali setiap harinya, hanya digunakan untuk memasak, dan sesekali digunakan saat musim penghujan, karena di dalam rumah terasa lebih hangat.
Penduduk yang ramah, dan udara yang sejuk menjadikan tempat ini wajib dikunjungi saat ke Lombok. Jika hendak ke Sade, sudilah mampir ke Ende juga.
Tabik,