Java Travel Journalism Class 2015: Belajar Menjadi Penulis Perjalanan
Don't sell destinations, but do tell the stories
Windy Ariestanty, seorang penulis yang suka jalan-jalan, membuka sesi pertama Java Travel Journalism Class 2015 dengan menekankan hal tersebut.
Pada dasarnya, tak ada sebuah destinasi yang benar-benar baru di dunia ini. Akan terasa monoton sebuah tulisan perjalanan yang hanya berisi ulasan destinasi.
"Kecuali kamu menuliskan perjalananmu ke Mars, sebagai seorang editor saya tak akan ragu menerbitkan naskahmu menjadi sebuah buku."
Lalu bagaimana membuat sebuah tulisan perjalanan yang baik dan menarik?
"Paling penting, ajak pembaca masuk ke dalam ceritamu, bukan semata mengajak mereka agar pergi ke tempat yang kamu tulis."
Tulisan yang baik adalah tulisan yang bisa membawa pembaca turut serta, merasakan, dan dengan sendirinya menjelma teman perjalanan yang baik bagi pembacanya. Baca di sini.
Dalam kunjungannya ke Bromo beberapa waktu lalu, Windy memilih mengajak pembaca untuk mengenal Marsiti, seorang wanita Suku Tengger. Pembaca dikenalkan pada keluguan Marsiti yang terkagum-kagum hanya karena melihat sosok teman Windy asal India atau pada luar biasanya Marsiti yang dengan cepat menyerap pelajaran bahasa Inggris yang diberikan Windy.
Windy tak mengajak pembaca berduyun-duyun ke Bromo untuk menyaksikan keindahan matahari terbitnya. Ia 'memaksa' pembaca untuk menikmati interaksi antar manusia.
Ada elemen -elemen yang harus dilengkapi untuk membuat tulisan perjalanan naratif; scene, character, voice & style, dialogue, point of view, action. Seperti yang disampaikan Windy dalam tulisannya berjudul 'Menghidupkan Karakter Dalam Kisah Perjalanan Naratif', "tulisan nonfiksi naratif (termasuk di dalamnya tulisan perjalanan naratif) yang bagus disangga oleh tiga kaki, yaitu karakter, tindakan, dan adegan. Dan karakter menjadi hal yang didahulukan karena ia menggerakkan dua kaki lainnya. Personalitas, nilai, dan hasrat dari karakter menghasilkan sebuah tindakan. Dan sudut pandang yang menunjukkan keinginan dari karakter akan mendorong ia melakukan tindakan."
Untuk menjelaskan mengenai pentingnya elemen 'karakter' dalam sebuah tulisan perjalanan, ia menceritakan kisah tentang Tuan Ibrahim yang ditulis Potts dalam ‘My Beirut Hostage Crisis’ yang dimuat di ‘The Kindness of Strangers’, sebuah kompilasi tulisan nonfiksi perjalanan naratif yang dieditori oleh Don George.
"Dalam tulisan perjalanan naratif, menjadikan seseorang yang ditemui di perjalanan adalah salah satu teknik kreatif yang bisa digunakan."
Tuan Ibrahim adalah seorang penduduk lokal Beirut yang memiliki trauma perang sehingga menginginkan orang-orang asing hanya menyaksikan modernisasi di tempat tinggalnya, sementara Potts justru berkeinginan untuk mengekplorasi bekas-bekas area perang.
Potts sukses mengenalkan pada pembaca sosok Tuan Ibrahim. Seorang yang semasa kecilnya tinggal di wilayah perang, The Green Line. Tuan Ibrahim dulu sering diberi hadiah permen oleh tentara Amerika. Ini menjadikan dirinya tumbuh sebagai pemuja tentara asing.
Potts, melalui karakter-karakter dalam tulisan ini mengenalkan Beirut, melalui sudut pandangnya yang seorang Amerika.
"Akhirnya, dalam tulisan perjalanan naratif, kita akan melakukan 2 perjalanan sekaligus. Perjalanan dalam arti sesungguhnya, dan juga perjalanan dalam mengeksplorasi kata-kata."
Membangun personal brand sebagai seorang penulis perjalanan
Ingin keliling dunia? Jadi travel writer saja!
Peserta tersenyum mendengar perkataan Teguh Sudarisman, editor in chief Kalstar Inflight Magazine. Dalam sesi ke-2, Teguh yang sudah belasan tahun malang melintang di dunia penulisan perjalanan, mengajak peserta Java Travel Journalism Class 2015 untuk mengenal lebih dalam mengenai industri penulisan perjalanan, baik media cetak maupun elektronik.
"Jangan pernah anggap remeh tulisan perjalananmu, ia memiliki nilai besar."
Banyak pihak yang rela mendanai para penulis perjalanan untuk mengunjungi destinasi-destinasi tertentu. Untuk masuk dalam 'radar' pihak-pihak tersebut, penulis perjalanan tak boleh hanya 'sekadar' menulis, selesai, kemudian ongkang-ongkang kaki.
"Bangun relasi sana-sini. Selalu jeli lihat peluang saat melakukan perjalanan. Selain itu, fokus tingkatkan kualitas tulisan dan fotomu, itu akan meningkatkan nilai jualmu."
Ini dia, 10 hal yang paling dibutuhkan untuk menjadi seorang penulis perjalanan. Baca di sini.
Memanfaatkan sosial media di era digital sekarang ini juga menjadi salah satu kunci. Buat diri kita diingat orang sebagai seorang penulis perjalanan. Selain itu, sosial media juga dapat dimanfaatkan untuk berkenalan dengan 'orang dalam' redaksi sebuah media. Ya, ini adalah salah satu tips agar kemungkinan tulisan kita dimuat di media semakin besar.
"Kenali karakter media yang akan kita kirimkan naskah, dan juga yang tak kalah penting coba berkenalanlah dengan editornya."
Dengan berinteraksi dan berdiskusi langsung dengan si editor, lambat laun kita akan tahu bagaimana tipe dan standar tulisan yang dapat dimuat di medianya.
Meski demikian, ada saja pihak-pihak tertentu yang (masih) kurang bisa menghargai sebuah tulisan perjalanan. Mulai dari sekadar dibayar secangkir kopi, atau bahkan hanya ucapan terima kasih, pernah Teguh alami.
"Awalnya memang berat, tapi dengan kita rajin menulis dan terus belajar meningkatkan kualitas tulisan, nama kita akan makin 'terdengar'. Jangan mudah terbawa perasaan saat tulisan kita ditolak; tulis, kirim lupakan."
***
Ada sebuah ungkapan klasik, 'tak ada hal besar tanpa sebuah langkah kecil'. Memulai langkah awal sebagai penulis perjalanan mungkin tak mudah, namun mulailah menulis, teruslah menulis, menulis dan menulis. Seperti yang Windy Ariestanty ungkapkan dalam tulisan 'Menari di Medan yang Riuh' karya Teddy W.Kusuma dan Maesy Ang. yang diterbitkan website pindai.org,
Menulis buruk jauh lebih baik daripada tidak menulis sama sekali. Bersama waktu, hanya yang mau berproses dan belajar yang akan bertahan, lihat saja