Bromo Dalam Musim Kemarau dan Musim Penghujan
Bromo, sebuah gunung dengan 1000 cerita.
Gunung Bromo identik dengan kawah, lautan pasir, pasir berbisik, Roro Anteng, Joko Seger, orang Tengger, hari raya Karo atau Pura Luhur Poten.
Namun, jika harus menggambarkan Bromo dengan satu kata saya memilih sunrise. Matahari terbit di Bromo membuat siapapun terpikat. Dunia mengakuinya, termasuk saya.
Beberapa teman mengeluh. Susah payah bermotor ke Pananjakan 1, namun saat jam emas harusnya tiba, hanya mendung dan kabut tebal yang mereka dapati.
Saya sering memandu rombongan perjalanan di gunung ini sebagai guide. Saya pun tak bisa menjawab pasti jika ada yang bertanya: 'Kapankah waktu yang tepat untuk mengunjungi Bromo?'
Alam adalah sebuah kekuatan mahabesar yang tak bisa diprediksi gerak-geriknya. Pagi ini cerah, belum tentu siang, sore, atau malam nanti serupa.
Musim kemarau tak menjamin matahari terbit melenggang penuh pesona dibandingkan musim penghujan. Begitu pun sebaliknya.
Bahkan saya berani berkata setiap hari pun pagi akan terlihat berbeda. Pagi tak akan pernah sama. Saat seorang teman kecewa karena merasa gagal melihat matahari terbit, saya hanya berujar,
'Kamu hanya belum beruntung saja.'
"Beruntung” atau “kurang beruntung” lebih tepat disematkan pada kondisi ketika matahari terbit sempurna maupun tidak.
Wajah masa penghujan Bromo
Ada dua kesempatan di mana saya cukup beruntung mendapatkan momen matahari terbit.
Kesempatan pertama, di penghujung bulan Oktober 2013. Tepat pada hari Sumpah Pemuda.
Sebelum Subuh, saya masih menghangatkan tubuh di salah satu warung di Pananjakan 1. Walau hanya sekadar menyeduh teh panas dan mencecap semangkuk mi rebus panas.
Di luar, suara derap kaki wisatawan bersahutan. Sebagian setengah berlari. Melongok keluar warung, ternyata seberkas cahaya jingga sudah mulai muncul dari balik Gunung Argopuro. Sontak saya segera meneguk habis teh yang mulai menghangat, lalu bergegas menuju anjungan pandang.
Setiba disana, bagian terdepan anjungan pandang yang paling dekat dengan pagar telah penuh. Kursi kayu panjang yang harusnya dibuat duduk, malah dijadikan pijakan untuk berdiri.
Saya sendiri cukup kesulitan mendapatkan posisi yang tepat untuk meletakkan tripod.Tak ada pilihan lagi, selain bersabar menunggu kondisi agak lengang.
Seperti gayung bersambut, pasangan bule yang berdiri di belakang mulai meninggalkan posisinya. Entah karena sudah cukup atau jengah tak kunjung mendapatkan hasil terbaik. Tanpa banyak pikir, saya segera berpindah posisi. Menempati kursi kayu yang sebelumnya diisi pasangan bule tadi.
Bersamaan dengan itu, matahari mulai menampakkan diri. Langit yang semula biru gelap mulai terang. Suhu udara mulai menghangat. Dan yang lebih penting, entah mengapa suasana sekitar malah mulai lengang. Tidak ada lagi gangguan lalu lalang berarti yang terekam kamera.
Sesekali saya edarkan pandangan ke arah Gunung Semeru yang sudah terlihat jelas. Saat ini, pasti para pendaki yang sedang berjalan ke puncak Mahameru berhenti sejenak. Menyempatkan diri merekam sang surya yang telah bangun dari tidur lelapnya.
Lautan kabut mulai melayang tipis di bawah Pananjakan 1. Menutupi kaldera Bromo, menyelimuti tubuh Argopuro. Kalau saja saya punya ilmu meringankan tubuh, saya akan terbang dan berenang di atasnya.
Bromo saat kemarau
Kesempatan kedua berkunjung ke Bromo adalah pada pertengahan bulan Mei 2014. Musim kemarau, udara cukup kering. Saat itu sudah dua pekan berjalan.
Beranjak fajar, angin di Cemoro Lawang, Probolinggo semakin menusuk. Di gerbang taman nasional, suasana sangat ramai. Para supir memanasi dan menggeber jip kesayangannya.
Karena kondisi keuangan yang cekak, saya memilih tak naik jip ke Pananjakan 1. Meskipun begitu, saya tak ingin kehilangan momen. Saya tetap memburu jam emas di Bromo. Waktu di mana langit di sepertiga malam terakhir mulai berubah rona. Dari hitam gelap beranjak benderang.
Usai salat Subuh, saya menyusuri jalan ke arah timur dari tempat parkir. Insting saya berkata, dari tepi jalan ini saya bisa melihat momen terbaik matahari terbit. Dugaan yang tak salah ternyata. Langit keemasan itu benar-benar terlihat. Indah sekali.
Tak harus ke Pananjakan jika ingin merasakan pengalaman lain untuk menyambut pagi.
Disini saya justru melihat Bromo dari sisi lain. Orang-orang Tengger dengan segala keunikannya, mulai menyemarakkan pagi di Cemoro Lawang. Memulai hari dengan beragam aktivitas. Tukang ojek hilir mudik bergantian menawarkan tumpangan untuk turun ke lautan pasir, beberapa penyedia jasa kuda pun tak kenal lelah menawarkan untuk menunggangi kuda bertubuh kekar. Tawaran yang menarik. Sayang, saat itu saya sedang sibuk merekam pagi dengan kamera yang disangga tripod kesayangan. Langit jingga dan kabut tipis lebih memikat perhatian dibandingkan turun ke lautan pasir berdebu, setidaknya untuk saat itu.
Saya beranjak ke samping kantor taman nasional. Merekam rona langit dari sisi lain. Di tepi pagar berantai yang terkait dengan tiang beton, saya kembali meletakkan tripod.
Mata saya terpaku pada sebuah komposisi yang cukup unik. Di atas Cemoro Lawang, langit memancar bagaikan aurora.
Sementara di bawah, lautan pasir sedang berselimut kabut cukup tebal. Bromo sedang batuk saat itu. Kepulan asap belerangnya membumbung, bercampur dengan kabut yang pekat. Jika dilihat dari Pananjakan 1, mungkin seperti lautan awan yang sedang terbang yang melayang rendah.
Bromo dan Gunung Batok nyaris tak terlihat. Saya serasa berada di atas awan. Suasana seperti inilah yang membuat saya jatuh cinta dengan alam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Bromo tak pernah kehabisan cerita
Di luar segala kekurangan yang ada, tak pernah ada kata jemu saat bertamu ke tempat ini. Belakangan saya sadar, Bromo terlalu luas untuk dijelajahi. Saat pulang dari sini, lalu melihat ulang foto yang telah dihasilkan, muncul pengandaian-pengandaian yang lain.
Ah, andai saja ambil dari sudut ini...
Ah, andai saja tadi motretnya lebih tinggi sedikit...
Dan lain-lain.
Begitulah Bromo. Kawah gunung yang dikelilingi kaldera purba.
Fajar yang keemasan...
Kabut yang melayang rendah...
Asap yang terus mengepul...
Langit pagi yang membiru...
Begitulah Bromo. Lebih indah dari yang ada di foto kalender. Lebih dari sekadar kata.
Artikel ini juga bisa kamu baca di Malesbanget.com