A PHP Error was encountered

Severity: 8192

Message: Function create_function() is deprecated

Filename: controllers/Post.php

Line Number: 84

Backtrace:

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/application/controllers/Post.php
Line: 84
Function: _error_handler

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/application/controllers/Post.php
Line: 22
Function: autop

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/index.php
Line: 315
Function: require_once

CULTURE


Cublak-Cublak Suweng Dolanan yang Tergerus Zaman

Prameswari Mahendrati — 11 January 2015

“Cublak cublak suweng
Suwenge ting gelenter
Mambu ketundhung gudel
Pak empong lera-lere
Sopo ngguyu ndelikkake
Sir sir pong dhele gosong
Sir sir pong dhele gosong…”

Samar-samar terdengar suara tembang lagu Jawa yang tak asing di telingaku. Lantunan lagu yang rasanya pernah saya mainkan dulu, dulu sekali saat aku masih kecil. Kulihat jam tangan, ternyata sudah menunjukan pukul 09.00.

Segera ku temui Mbah Karto, orang yang tak sengaja menolongku semalam ketika motorku mogok saat diguyur hujan. Saat itu saya hendak solo traveling ke Jogja sekaligus ingin melakukan kopdar dengan beberapa teman yang memiliki hobi serupa.

Rencana hanya tinggal rencana, sepertinya keadaan memaksaku menunda perjalanan hingga ke kota dan berbeloklah saya di Dusun Pandes, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul.

Saya lihat beliau sedang duduk sembari memotong sebuah pola dari kertas kardus bekas, kalau tak salah kertas-kertas itu membentuk karakter wewayangan.

Tak segan saya duduk di sampingnya, sekadar basa-basi saya bertanya apa yang sedang di lakukannya. Dia hanya terdiam. “Yang keras mbak, mbahnya agak nggak dengar!” sahut salah satu bocah yang sedang bermain dolanan tradisional. Saya pun mengulang pertanyaan yang sama dengan nada lebih tinggi.

Oh mbak e sudah bangun? Ini mbah lagi bikin wayang-wayangan buat mainan bocah-bocah” Sahut Mbah Karto sembari menginang sirih.

Pandangan saya kembali tertuju pada kumpulan anak-anak yang sedang membuat lingkaran kecil sambil bergandeng tangan satu sama lain, seorang anak tampak mencari batu yang dioper secara tersembunyi oleh temannya yang lain. Masih teringat jelas dalam benak saya, dulu saya juga pernah memainkan permainan yang sama dengan teman-teman semasa kecil.

Entah kenapa seiring bertambahnya usia, perlahan-lahan permainan ini semakin pudar dan hilang dari pandangan, bahkan adik laki-laki saya yang terpaut 7 tahun sudah tidak merasakan permainan tradisional. Hanya playstation dan gadget teman setianya. Melihat anak-anak ini, rasanya seperti kembali muda, bernostalgia dengan kenangan-kenangan masa lalu.

Dulu mbah jualan mainan ini laku, tiap hari selalu habis. Zaman sekarang jarang anak yang mau mainan beginian, hanya beberapa yang masih mau, itu pun bisa dihitung jari” ucap nenek yang berumur sekitar 80 tahunan itu.

Ternyata tidak hanya saya seorang yang merasakan kehilangan permainan tradisional ini. Miris memang melihat anak-anak zaman sekarang lebih dekat dengan benda pintar yang disebut gadget ketimbang bersosialisasi dan bermain dengan teman sebayanya.

"Perkembangan teknologi memang begitu luar biasa hebatnya, bisa mengalihkan suatu kebudayaan, salah satunya dolanan tradisional".

Perbandingan yang dirasakan begitu kontras. Dulu, setiap sore saya selalu antusias untuk keluar rumah untuk bertemu dengan teman melakukan berbagai jenis permainan, seperti congklak, cing benteng, gobak sodor, petak umpet, dan cublak-cublak suweng.

Setelah beranjak dewasa, saya baru menyadari berbagai makna dari permainan tradisional ini, kerja sama tim, kekompakan, dan solidaritas. Wujud nyata praktik bersosialisasi yang tidak diajarkan di bangku sekolah.

Saya tidak tahu pasti apakah anak-anak zaman sekarang akan mendapatkan kebahagiaan sederhana dari benda mati yang mereka mainkan, tapi yang jelas saya juga tidak bisa menyalahkan perkembangan teknologi yang luar biasa begitu pesatnya karena semakin beranjak, saya juga memanfaatkan teknologi di beberapa aspek.

Saya juga sadar, kita tidak hidup di zaman purba, kita ada di era yang segalanya bersifat dinamis dan begitu cepat mengalami rotasi.

Kenjungan tak terduga di desa ini lagi-lagi menjadi pelajaran hidup bagi saya. Pelajaran tentang hukum globalisasi, siapa yang berkembang cepat dialah yang bertahan.

"Beginilah realitas, sangat disayangkan  perlahan-lahan sebuah kebudayaan rapuh dimakan zaman tanpa ada yang mau mempertahankannya"

Bagikan artikel ini :