Desa Panglipuran, Wujud Kearifan Budaya Lokal Bali
Sebagai salah satu destinasi wisata yang sangat populer di Indonesia, Bali tentu saja adalah lokasi yang tidak asing lagi di telinga dunia. Sebutan Pulau Dewata itu seakan menjadi magnet tersendiri bagi orang yang berjiwa traveling, termasuk juga saya. Berawal dari kegemaran saya menonton sebuah FTV yang banyak menyorot berbagai sudut di Bali dan kicauan tentang keindahannya di sosmed itulah yang membuat saya tergugah untuk ke sana.
Tepat empat tahun lalu, saat itulah pertama kalinya saya menginjakan kaki di luar pulau Jawa. Bersama dengan keluarga, ayah menuntun saya untuk singgah terlebih dahulu di sebuah desa, desa Panglipura. Mengapa harus desa? Pertanyaan mulai berdatangan. Mulanya, pertama kali saya melangkah memasuki kawasan desa tersebut, saya belum bisa menangkap apa yang istimewa dari desa tersebut, sama saja dengan desa-desa yang saya lihat di perjalanan.
Pemandu wisata mengantarkan kami masuk ke dalam sebuah rumah milik salah satu warga, corak pura dan bau dupa menjadi ciri khas yang sangat pekat, tak hanya di rumah ini, di setiap sudut rumah pasti terdapat pura untuk melakukan ibadah harian.
Menginjak pintu gerbang pekarangan rumah, mereka menyebutnya angkul-angkul keramahan dari masyarakat setempat sudah sangat terasa. Tak seperti rumah-rumah lain yang saya jumpai ketika di perjalanan, angkul-angkul di setiap rumah di desa ini tidak ada yang berpagar. Ternyata angkul-angkul yang tak berpagar itu juga mengandung filosofi, setelah bertanya dengan si pemilik rumah, Pak Wayan, beliau menjelaskan bahwa pemilik rumah di desa ini percaya kalau setiap orang yang berkunjung memiliki niat yang baik, sehingga semua orang, termasuk turis yang tidak mereka kenal sekali pun dapat datang dan masuk tanpa ada halangan.
Keramahan warga desa adat ini semakin terbukti, Pak Wayang dengan begitu ramahnya memasangkan bunga kamboja di telinga bagian kirilalu langsung menggandeng saya masuk ke dalam rumahnya. Lazimnya, tamu yang berkunjung akan di ajak masuk ke ruang tengah, tapi benar-benar mengejutkan, Pak Wayan malah menggiring saya masuk ke bagian dapur. Beliau menawarkan saya sebuah minuman berwarna hijau pekat, yah kira-kira itu semacam jamu. Saya sempat menolak secara halus karena tidak tahu asal-muasal dan manfaat dari minuman tersebut, karena sedikit memaksa, pada akhirnya pun saya meminum juga ramuan yang entah terbuat dari apa, rasanya memang sedikit aneh, sepat agak manis asin, silakan buat kamu yang mau mencoba bila berkunjung ke sini.
Setelah mencoba meminum jamu, tanpa canggung istri dari Pak Wayan mengajak saya intuk membantunya memasak, saya familiar dengan masakan yang sedang ia masak. Ternyata tebakan saya benar, Srombotan. Saya pernah memakannya sekali, pada dasarnya adalah lalapan khas Bali, namun yang membedakannya adalah bumbunya, yakni campuran antara bumbu kacang dengan kalas. Saya membantunya menghaluskan bumbu yang telah di sediakan olehnya, seperti kunyit t, lengkuas, bawang merah, bawang putih, ketumbar dan kencur.
Kami memasak tidak menggunakan peralatan modern sama sekali, semua serba tradisional, dari mulai kayu bakar, tungku, tumbukan dari tanah liat, spatula yang terbuat dari batok kelapa. Masyarakat di sini ternyata menganut sistem keseimbangan alam, artinya mereka bergantung kepada alam dan mereka juga menjaga keharmonisan alam. Benar saja, setelah berkeliling ke beberapa rumah warga yang cenderung homogen, rata-rata warganya menggunakan kayu bakar dan tungku untuk memasak, tidak banyak menggunakan peralatan elektronik, dan kebersihan sangatlah terjamin. Kayu-kayu bakar yang mereka gunakan juga berasal dari ranting pohon tua yang sudah berumur.
Dari sinilah saya sadar mengapa desa Panglipuran menjadi desa adat dan mendapat predikat sebagai contoh desa teladan di Bali. Semua karena masyarakat yang menganut sistem keseimbangan dengan budaya yang begitu pekat. Sebenarnya, kearifan budaya lokal dari desa ini tidak hanya bisa diterapkan di Bali, desa-desa lain di seluruh Indonesia juga dapat mencontohnya, tinggal kitalah sebagai masyarakat yang berperan sebagai pelakunya untuk menjunjung tinggi budaya karena “budaya adalah harga diri bangsa.”