A PHP Error was encountered

Severity: 8192

Message: Function create_function() is deprecated

Filename: controllers/Post.php

Line Number: 84

Backtrace:

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/application/controllers/Post.php
Line: 84
Function: _error_handler

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/application/controllers/Post.php
Line: 22
Function: autop

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/index.php
Line: 315
Function: require_once

LIFE-STYLE


Di Suatu Tempat Bernama Sawenduy [2]

Windy Ariestanty — 28 July 2015

Baca juga bagian 1 di sini: Di Suatu Tempat Bernama Sawenduy [1]

 

pelesir-di-mambasiui Pelesir di Mambasiui. Domianus dan Hendrikus bermain-main di tepi Pantai Mambasiui, pantai peneluran penyu, yang menjadi tempat favorit mereka. Foto oleh Windy Ariestanty

Yang pertama selalu sulit dilupakan, apalagi bila pengalaman pertama tersebut juga yang terbaik. Ini masih kisah tentang Kampung Sawenduy, Kepulauan Yapen, Papua. Sebuah desa terpencil di kepulauan yang membentang di dekat Kepala Burung, yang tak hanya mengajari soal memberi yang terbaik, tetapi juga mengajak saya mengalami hal-hal serba pertama, yang lagi-lagi serba terbaik.

HUJAN memang turun hari itu seperti yang diduga oleh Apsalom Kurano tadi siang. Sehabis meletakkan barang-barang dan menata tempat tidur di balai-balai, saya mencari-cari Apsalom.

‘Ia kena malaria,’ kata Akmal sambil menyeruput teh hangat. Tentu ini mengagetkan saya. Ia tampak baik-baik saja seharian tadi. Lalu tiba-tiba, setelah kami tiba di sini, ia dikabarkan kena malaria. Buat saya, malaria bukan penyakit ‘numpang lewat’. Tidak sama seperti pening atau pilek yang bisa selesai dengan menenggak obat yang dijual di supermarket. Saya pernah kena dan rasanya sungguh tak enak. Badan saya seperti remuk redam dan demam tinggi menyerang setiap hari. Setiap berusaha memasukkan sesuatu ke perut, saya akan memuntahkannya. Saya hanya berbaring merintih di tempat tidur berhari-hari.

‘Bagaimana bisa?’ Saya tetap tak percaya.

‘Tak dirasa,’ jawab Akmal pendek.

Saya duduk di tepi balai-balai sambil sibuk menyemprotkan antinyamuk organik racikan Hanny, masih memikirkan soal Apsalom yang terkena malaria. Seharian ini Apsalom bersama kami, menjelajahi sisi lain kampung Sawenduy untuk melihat pohon pakis raksasa yang tak diketahui berapa usianya. Beramai-ramai, sekitar 7 orang, kami merunuti garis pantai dan tepian hutan. Tak terlihat sama sekali Apsalom sedang demam dan menahan pusing.

Kami tiba di sebuah ceruk yang sejuk dan tersembunyi. Pohon-pohon besar menaungi dan karang-karang tinggi seolah membentengi kami dari terpaan ombak. Tak banyak kegiatan yang saya dan Hanny lakukan. Kami tak punya agenda sama sekali selain ‘keluyuran’ ikut ke mana pun teman-teman Saireri Paradise Foundation (SPF), sebuah yayasan yang terlibat dalam konservasi alam di Kepulauan Yapen, mengajak. Kemarin kami masuk hutan, melihat cendrawasih menari dan beberapa burung lainnya. Kami juga berkemah di tepi Kali Kasuari dan menunggui burung maleo bertelur. Sisanya, kami hanya duduk-duduk di tepi kali sambil bakar pisang dan mencocop kedondong serta nanas hutan. Sesekali kami berendam di sungai yang terasa dingin lalu saling olok hingga memancing tawa tergelak yang tak berkesudahan.

kemah-di-kali-kasuari Berkemah di tepi Kali Kasuari. Berkemah di tepi Kali Kasuari yang membelah hutan sebelum keesokan paginya 'mengintip' burung maleo bertelur. Foto oleh Windy Ariestanty

Saya dan Hanny betah bengong berlama-lama di tepi kali yang membelah hutan tanpa percakapan. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Biasanya hanya saling memanggil bila melihat sesuatu yang menarik. Di hutan, bila capek mendongakkan kepala untuk melihat burung-burung, kami menunduk menatapi tanah, mengamati jamur-jamur yang bentuk dan warnanya menarik.

Siang ini pun sama, setelah melihat si pakis raksasa (yang juga merupakan satu-satunya pakis di pulau ini) yang sedari kemarin diceritakan Akmal, kami duduk saja bersantai sambil mencari batu-batu laut yang cantik untuk dibuat perhiasan. Apsalom dan teman-teman lain dari SPF dengan sabar menunggui Hanny dan saya.

Mereka sebenarnya juga heran, bagaimana bisa kami memutuskan lima hari menghabiskan waktu di pulau ini tanpa agenda. Biasanya, yang datang ke pulau ini adalah para pengamat burung atau peneliti penyu. Beberapa lagi datang untuk melakukan pendataan tumbuhan di hutan.

‘Itu tutupnya bia mata bulan,’ kata Apsalom sewaktu saya dan Hanny sibuk sendiri mendiskusikan tentang kulit kerang yang di kedua sisinya memiliki corak berbeda. Satu sisi ada titik seperti mata, sisi lainnya bercorak spiral yang menjadi simbol gelombang.

‘Nyooooh. Namanya cantik,’ komentar Hanny.

‘Bia itu apa?’ saya menimpali.

‘Kerang laut, semacam siput,’ Akmal menjelaskan.

‘Seperti kima?’ Saya mencoba menggali-gali pengetahuan yang saya dapatkan tentang hewan-hewan laut sewaktu tinggal beberapa saat di Raja Ampat, Papua untuk mengajar menulis juga.

Apsalom, Domianus, dan Deni menggeleng. ‘Beda. Ini seperti siput.’ Yang menyambar pertanyaan saya malah Raymond. Ia sedang tidur-tiduran bersama kawan-kawan lainnya. Tubuh mereka semua dipenuhi pasir. Kima bentuknya seperti kipas, kalau bia seperti siput tetapi bagian lubangnya memiliki penutup yang melindunginya dari serangan predator.

Baca juga: Pengalaman Windy Ariestanty mengajar menulis di Misool, Raja Ampat

Saya dan Hanny tak bisa membayangkan. Saya sendiri pertama kali mengetahui ada kulit kerang dengan simbol gelombang—yang ternyata katup penutup bia—justru ketika berada di Pulau Nyangnyang, Mentawai.

‘Anak mau mencoba makan bia mata bulan?’ tanyanya Apsalom.
Saya tak segera mengiyakan. Saya tidak suka makan kerang dan sudah berpuluh-puluh tahun tak makan kerang. Baunya amis menurut saya. Tapi saya ada di sebuah pulau yang sejak hari pertama ketibaan di sini, semua makanannya ‘enak banget’.

‘Cari di mana, Pak?’ Rasa penasaran saya menang. Di Siem Reap saya pernah mencoba makan jangkrik atas desakan Chanta, sopir tuktuk saya. Pastinya siput laut lebih nikmat dari jangkrik bukan?

‘Mudah itu. Kalau Anak mau bisa dicari. Mau?’

Saya dan Hanny mengangguk. Apsalom berbicara kepada beberapa kawan. Mereka berjalan menjauhi kelompok, menuju ke batu-batu karang yang membentang di tepian pantai.

mencari-mata-bulan Para pencari mata bulan. Penduduk Sawenduy sedang menyusuri tepian pantai mencari bia mata bulan, sejenis siput laut, untuk dijadikan lauk. Foto oleh Windy Ariestanty

Saya dan Hanny kembali asyik sendiri. Ditemani Deni dan Domianus, kami sibuk mengumpulkan bebatuan pantai dan kulit kerang. Deni adalah remaja Sawenduy yang pandai memilih. Ia punya selera bagus soal batu-batuan pantai dan kulit-kulit kerang. Hasil kurasinya membuat saya dan Hanny terbelalak senang. Domianus berhasil menemukan banyak kerang kecil. Ia menyimpannya dalam lipatan kaus biru yang dikenakannya. Belakangan saya baru tahu, ia sengaja memilih kerang-kerang kecil untuk membuatkan Hanny dan saya kalung. Ia memberikan kalung-kalung itu pada hari kami berpamit pulang.

Aroma bakaran tercium. Saya mengendus-endus udara, mencari arah datangnya bau lalu mendapati Apsalom tengah membuat api unggun. ‘Bakar apa, Pak?

‘Ini bia sudah dapat,’ tunjukannya ke setumpuk bia. Mata saya membesar. Seumur hidup, ini pertama kalinya saya melihat bia mata bulan. ‘Mana bagian yang ini, Pak?’ tanya saya bersemangat sambil menunjukkan kulit kerang berbentuk lempengan, satu sisi memiliki corak seperti mata, di sisi lainnya garis spiral. Apsalom menunjukkan bagian tersebut sambil menaruh satu per satu bia di atas api. Bia yang kepanasan, menggeliat keluar, membuka katupnya, lalu menutup lagi. Begitu seterusnya.

Ketika semua bia sudah matang, ia menyodorkan seluruh bia kepada saya dan Hanny di atas daun yang lebar. ‘Makanlah.’

‘Ayo, kita makan ramai-ramai,’ ajak Hanny dan saya.

Semua menolak, termasuk Akmal. Alasannya, mereka bisa makan bia setiap hari, sementara saya dan Hanny, ini pertama kalinya mencoba dan belum tentu setahun sekali bisa makan itu.

Akmal mengajari kami cara mengeluarkan daging bia dari cangkangnya. Menarik katup penutup dan mencongkel dagingnya. Hanny melahap duluan. ‘HMMM! Enak, W!’

‘Nggak pakai banget?’ tanya Akmal meledek.

‘Enak BA-NGEEEEET!’ Hanny mengatakannya sambil merem-melek. Gayanya seperti seorang penakar rasa. Saya mengikuti yang diajarkan Akmal, sedikit ragu memasukkan daging bia ke mulut. Hanny penggemar kerang, kalau dia bilang enak, seharusnya saya percaya. Saya terakhir makan kerang waktu duduk di bangku sekolah dasar. Tak ada cocolan sambal sebagaimana yang disajikan warung-warung seafood di Jakarta. Rasa amis di mulut membayangi saya.

Hap! Saya memasukkan sejumput daging siput ke mulut. Kali ini saya yang merem-melek.

‘Bapaaaaak! Enak banget!’ teriak saya kepada Apsalom. Sama sekali tak tercium dan terasa amis. Malahan, rongga mulut saya dibanjiri rasa gurih, asin, dan bakaran. Apsalom, Raymond, Domianus, Dani tertawa melihat reaksi saya dan Hanny. Mereka menganggap kami seperti sepasang anak kecil yang mudah disenangkan dan terkaget-kaget. ‘Pakai apa tadi masaknya?’

Kata Akmal, karena cangkang bia mata bulan seperti siput, daging bagian dalam matang karena terebus air laut yang tertampung di cangkang ketika dibakar. Ini membuat asin dan gurih bia terasa pas meski tak menggunakan bumbu sama sekali.

Saya merasa apa yang saya makan mewah sekali.

mata-bulan Bia mata bulan. Siput/keong laut yang menjadi lauk sehari-hari penduduk Sawenduy selain ikan. Foto oleh Windy Ariestanty

‘Rita, Berta, sini kalian.’ Teriakan Akmal membuat potongan-potongan petualang tadi siang di kepala terhenti. Dua bocah kecil berlarian menghampiri Akmal. Hujan sudah berhenti rupanya.

‘Kakak-kakak itu mau kasih kau gula-gula. Kau panggil yang lain,’ katanya. Rita dan Berta memandangi saya dan Hanny. Di Makassar, sewaktu transit di bandara, kami memutuskan membeli gula-gula untuk dibagikan ke anak-anak kampung di Sawenduy. Karena tak tahu jumlahnya berapa, kami membeli beragam cokelat dan permen cukup banyak. Ini keputusan yang tepat. Bocah-bocah itu kesenangan. Mereka malu-malu mendekat dan mengulurkan tangan.

bocah-sawenduy-3 Bermain dengan laut. Anak-anak Kampung Sawenduy sehabis mendapatkan gula-gula berlari-lari senang di tepi pantai. Foto oleh Windy Ariestanty

Apsalom keluar dari kamarnya. Ia duduk di balai-balai bersama kami. Saya mengulurkan kacang disko kepadanya.

‘W, masa Bapak sudah sembuh dari malaria,’ lapor Hanny.

‘Hah?’ lagi saya terkejut. ‘Bagaimana bisa?’

‘Dipijat. Saya juga baru tahu ada tukang pijat yang bisa menyembuhkan malaria. Saya juga tak percaya, toh. Tapi benar, sehabis dipijat, tidur sebentar, sekarang saya lebih enak,’ terang Apsalom. Kata mereka, nasib Apsalom sedang baik, kebetulan tukang pijat itu hari ini lewat dan ia mendengar Apsalom sakit. Di sini tak ada sinyal telepon untuk berkabar atau memesan tukang pijat agar ke rumah. Penduduk menjelajahi pulau dengan jalan kaki atau kapal. Lebih sering jalan kaki karena tak semua punya kapal.

Saya menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Ini pertama kalinya saya tahu, malaria bisa sembuh lewat pijatan. Sewaktu kena malaria, saya butuh dua minggu untuk sembuh. Harus ke dokter dulu untuk cek darah lalu minum obat saban hari. Apsalom tidak. Ia beraktivitas seperti biasa lalu merasa pusing karena demam yang tinggi sore tadi. Dan sekarang, ia duduk-duduk sambil tertawa, makan kacang disko pemberian kami, dan mengaku sudah sembuh.

Langit sudah gelap. Suara deru ombak mendominasi pendengaran saya.

‘Makanlah, Nak. Ikan yang tadi sudah dimasak kuah kuning buat makan malam.’ Masih ia memikirkan soal apa yang kami makan.
***

KAMPUNG Sawenduy, Distrik Rambawi, Kabupaten Kepulauan Yapen punya tempat tersendiri dalam ingatan saya soal Papua. Selain alam dan orang-orangnya menyajikan yang terbaik, banyak hal serba pertama saya alami dan ketahui. Liur saya masih terbit saban membayangkan bia mata bulan bakaran Apsalom, segarnya ikan kuah kuning, manisnya pisang bakar yang ditumpuk begitu saja di atas sekam, asam kedondong yang bercitarasa lemon, cendrawasih yang menari-nari di pepohonan, dan puluhan tukik yang merayap ketika dilepaskan untuk menjemput laut—rumah mereka.

Saya sebenarnya sedikit ‘cemas’. Semua yang saya alami terlalu mewah. Bagaimana bila saya rindu tempat ini? Saya tahu benar saya tak akan bisa menunda-nunda kembali ke tempat di mana kenangan-kenangan terbaik tercipta. [13]

 

@windyariestanty adalah penulis buku Life Traveler dan salah satu ikon inspiratif 2015 Hard Rock FM Bali untuk bidang traveling & writing. Baca tulisan Windy tentang tulisan perjalanan naratif dan menghidupkan karakter dalam kisah perjalanan naratif di sini.

Bagikan artikel ini :