Dugem Berjalan di Kota Bogor
Sudah sejak lahir saya terbiasa dengan guyuran hujan, dialektika Sunda, dan penatnya jalan raya yang bukan lagi rahasia umum. Saya kenal betul Bogor memiliki sebutan “Kota Hujan”, entah sejak kapan kota ini beralih dengan sebutan “Kota Sejuta Angkot”.
Jika saya flashback sedikit ke 5-8 tahun lalu, sejak zaman saya masih berseragam, saya telah akrab dengan kendaraan roda empat yang identik dengan warna hijau dan biru ini. Tetapi, yang mebuat saya tergelitik adalah ketika saya mulai menginjak bangku SMA. Entah dari mana asal muasalnya inovasi tersebut, tiba-tiba saja muncul trend angkot dengan fasilitas hotel bintang 5. Bayangkan angkot yang dengan fasilitas berbagai macam di dalamnya?
Semakin banyak pilihan fasilitas angkot, semakin banyak pula kriteria angkot yang mulai saya targetkan. Kriteria yang saya pasang adalah; Supir berseragam, Full music, LCD, bebas asap rokok, jendela dilapisi kaca film, berkarpet, dan terdapat lampu. Alhasil waktu untuk menunggu angkot dengan kriteria lengkap itu pun cukup memakan waktu. Betapa sia-sianya waktu yang saya buang untuk menunggu satu angkot.
Sebenernya saya juga masih klise terhadap perkembangan fasilitas angkot di kota ini, satu sisi saya anggap kreatif karena menambah minat untuk naik angkutan umum. Di sisi lain, ada beberapa kalangan tertentu, sebut saja ibu saya, yang merasa risih dengan berkembangnya angkot disko ini. Tak jarang saya mendengar keluhan ibu ketika pulang bekerja atau saat naik angkot disko bersama saya. “Aduh! Kuping saya sakit nih dengar musik beginian” atau lebih frontalnya, “Bang..bang..berisik bang, puyeng nih”. Begitulah celotehan penumpang angkot yang diwakili oleh ibu saya.
Tidak cuma tampilan angkotnya aja yang nyentrik, tapi skill supir angkotnya pun tidak kalah nyentriknya dengan body angkot. Angkot-angkot yang bernuansa disko tersebut selama yang pernah saya naiki, cenderung ugal-ugalan dalam mengendarai. Terang saja, saya berasa jadi pembalap F1, bedanya kalau F1 lintasannya mulus, tapi kalau lintasan angkot ini tidak beraturan. Makanya, tidak jarang polisi lalu lintas tak segan-segan untuk menilang supir angkot ini. Walaupun tetap akan diulangi lagi alias tidak ada kapoknya.
Belum lagi kalau ditambah adanya konser dadakan alias pengamen jalanan di tengah-tengah perjalanan. Tidak jadi masalah, tapi yang repot itu ketika si seniman jalanan dan si supir angkot disko tidak ada yang bersedia mengalah. Alhasil, suara music yang tak beraturan yang diterima, kuping kanan mendengarkan digital music dan kuping kiri mendengarkan live music dari solo konser si seniman jalanan.
Selain itu, ada juga sisi jeleknya dari angkot disko, kalo kata Urang Sunda, “angkot model ieu mah kirang septi (angkot model seperti itu kurang aman)”. Kenapa kurang safety? Jadi, singkat cerita pada suatu siang sepulang sekolah, seperti biasa saya memilih-milih angkot dengan model dan kriteria seperti disebutkan di atas. Setelah mendapatkan angkot yang perfect, saya pun memutuskan untuk naik angkot disko tersebut hingga tujuan. Saya menaiki angkot bersama tiga orang teman saya (Fitri, Nike, dan Sekar). Kami memilih posisi duduk paling pojok bagian belakang dengan alasan agar lebih dekat dengan mini LCD. Selang waktu tak berapa lama (sekitar 15 menit), naiklah gerombolan empat orang siswi dari sekolah yang berbeda. Tak berapa lama pula, di daerah Pasar Citeureup, naiklah seorang bapak-bapak setengah baya menggunakan peci dan pakaian rapih dengan tas model selempang.
Mungkin saking girangnya mereka (empat orang siswi yang naik setelah kami) atau saking narsisnya mereka menaiki angkot ini, mereka dengan asyiknya berfoto-foto ria dengan gaya yang mainstream (gaya mengacungkan dua jari). Saking asyiknya mereka berfoto-foto ria, tanpa mereka sadar kalau bapak-bapak rapih berpeci tersebut adalah seorang pencopet. Akhirnya, yang pada awalnya mereka berempat tertawa sumringah, berubahlah menjadi isak tangis.
Entahlah, waktu itu pikiran saya bertambah klise terhadap inovasi angkot disko, positif atau negatif, yang jelas selama tidak banyak mengganggu dan merugikan tidak masalah, tapi jika memang merugikan tidak ada salaahnya juga untuk ditertibkan.