Hal yang Harus Kamu Lakukan di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu
Melompat dari Jembatan Cinta
Konon katanya, orang yang melompat dari atas jembatan cinta, akan bertemu dengan cinta sejatinya
Bagian lengkungan jembatan yang sering dijadikan tempat melompat para pencari 'cinta sejati' memiliki pagar berwarna merah muda.
Mungkin untuk menguatkan kesan nama 'Jembatan Cinta' tersebut. Entah kenapa warna merah muda selalu digunakan untuk menguatkan kesan 'cinta'.
Jembatan ini memiliki panjang sekira 800 meter, dengan satu lengkungan ke atas pada salah satu bagiannya sebagai tempat lalu lalang kapal kecil. Jarak lengkungan ke laut berkisar 8 meter, dengan kedalaman laut birunya 4-5 meter.
Saya bukan seorang yang percaya pada mitos yang mendiami suatu tempat, bukan pula seorang yang apatis. Saya lebih memilih menganggapnya sebagai 'hiburan'.
Saya mencoba melompat.
Saat memandang orang-orang melompat dari kejauhan, nampak biasa, tak terlihat begitu menyeramkan.
Saat kaki ini menginjak atas pagar dan memandang bawah, 8 meter itu ternyata cukup membuat jantung berdebar kencang. Analisa bodoh saya, debaran ini mirip seorang yang sedang jatuh cinta, mungkin karena itu jembatan ini dinamakan Jembatan Cinta.
Saat melompat setidaknya saya sempat mengucap 3 kata makian ke salah satu teman yang mendorong saya ke bawah sebelum muka saya menyentuh permukaan laut lebih dahulu. Mata terasa perih karena air laut. Saya berenang ke permukaan dan tertawa lepas.
Ternyata menyenangkan! Saatnya untuk percobaan kedua dengan gaya lain.
Menjelajah Pulau Tidung Kecil
Sore itu, setelah lelah beberapa kali melompat dari atas jembatan cinta, saya dan seorang teman penasaran dengan pulau kecil yang berada di ujung jembatan. Menurut warga setempat, pulau tersebut tak berpenghuni, hanya sebuah pulau biasa.
Mereka bahkan menyarankan ke pulau tersebut menjelang malam, karena ada mitos mata kita akan di'kabur'kan dan tak dapat menemukan jalan keluar dari pulau.
Kami penasaran dengan pulau tersebut. Kami putuskan nekad menjelajah pulau tersebut, karena kami yakin ada pantai tersembunyi disana.
Jalan setapaknya dari batu andesit. Setidaknya lebih baik dari bayangan saya, karena sempat terlintas dalam pikiran kami akan menembus hutan lebat.
Kanan dan kiri hanya ada pohon-pohon besar. Sesekali terdengar cicit burung. Tak ada seorang pun di pulau ini, padahal Pulau Tidung Besar sangat ramai.
Aroma laut tajam memenuhi rongga hidung. Jarum pendek jam menunjuk angka 5, hari mulai gelap.
Dua puluh menit berjalan, kami tak juga menemukan ujungnya. Saya mulai ragu karena suasana sangat sepi, bahkan suara teriakan-teriakan dan tawa pengunjung Pulau Tidung Besar sudah tak terdengar lagi. Atmosfernya mencekam tak bisa dijelaskan.
Kami memutuskan beristirahat sejenak.
Saya teringat kisah yang saya baca di internet sebelum berkunjung ke tempat ini. Seorang suku Tidung asal Kalimantan, yang menemukan pulau tersebut hingga kemudian nama sukunya diabadikan sebagai nama pulau, menurut cerita dia dimakamkan di salah satu sudut Pulau Tidung Kecil.
Angin bertiup, hawa dingin mulai menusuk.
Akhirnya kami memutuskan untuk kembali sebelum hari benar-benar gelap. Kenekatan kami cukup sampai disitu. Bagaimanapun kami tak mengenal medan tersebut. Kembali pulang adalah pilihan terbaik.
Bersepeda keliling pulau tengah malam
Ini hal terbaik yang saya dapatkan di Pulau Tidung.
Di Pulau Tidung, tiap homestay memiliki hingga 5-6 sepeda dengan keranjang dibagian depan yang memang diperuntukkan bagi para turis. Sepeda tersebut diletakan begitu saja didepan penginapan-penginapan sehingga dapat digunakan kapanpun.
Malam itu sangat cerah. Jutaan bintang memayungi perjalanan kami keliling pulau. Kami bersepeda menyusuri perkampungan warga menuju Jembatan Cinta, berencana menikmati malam bertabur bintang kala itu di jembatan tersebut.
Disaat semua orang terlelap, kami sedang memacu sepeda adu cepat menuju Jembatan Cinta.
Saat itu tak begitu dingin, juga tak panas. Hawanya cukup sejuk, benar-benar suasana yang sempurna.
Bersepeda di tengah malam merupakan hal baru bagi saya. Udara yang saya hirup entah kenapa terasa sangat segar, berbeda dibanding saat bersepeda di pagi atau sore hari.
Sesekali terdengar suara gesekan daun-daun pohon kelapa di tepi pantai.
Setelah 15 menit mengayuh, kami sampai di Jembatan Cinta. Tak ada orang lain saat itu. Kami berlima seperti memiliki pulau pribadi. Sepeda kami letakan begitu saja di pasir pantai, kami rebahan diatas Jembatan Cinta.
Benar-benar pengalaman luar biasa yang tak pernah saya temukan di tempat manapun.
Mungkin bagi orang lain terlihat kurang kerjaan.Kamipun tak tahu apa motivasi kami tiba-tiba ingin melakukan ini.
Bukankah untuk bersenang-senang kita tak membutuhkan alasan apapun? Cukup lakukan dan nikmati!