Jangan Lupa Asal-usul, Banggalah dengan Daerah Asalmu!
Saya berasal dari Jawa Tengah, tepatnya Purbalingga, kota industri knalpot dan rambut palsu terbesar di Indonesia yang mayoritas sehari-harinya menggunakan bahasa ngapak. Beberapa waktu lalu, tak sengaja saya bertemu seorang kawan lama waktu SMA, ia bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta sekarang. Sebelumnya ia kuliah di salah satu universitas negeri di sana. Tak banyak yang berubah dari penampilannya, tak ada sebelum kami mulai mengobrol. Saya mengajaknya mengobrol dengan suara keras sambil melontarkan canda khas daerah kami, bahasa ngapak, namun ia terlihat canggung menanggapi dan justru membalasnya dengan bahasa Indonesia logat ke-jakarta-jakartaan. Lebih kaget lagi saat ia memanggil saya dengan "lo" dan memanggil dirinya "gue". Karena merasa tak biasa menggunakan bahasa Indonesia saat mengobrol dengannya, saya tetap menggunakan bahasa daerah kami, sementara ia tetap menanggapi dengan bahasa Indonesia. Jika ada orang lain yang mendengarnya mungkin mereka akan tertawa geli mendengar obrolan kami yang menggunakan bahasa gado-gado ini.
Artikel terkait: 12 Alasan Mengapa Melancong ke Purbalingga Akan Memberimu Pengalaman Hidup Berbeda
Begitu juga cerita salah seorang kawan dari suku batak. Ia termasuk orang batak yang berusaha "tak peduli" dengan asal-usulnya karena menganggap hal tersebut cukup aneh dilakukan di masa modern. Menghafal urut-urutan adat, meruntut pohon keturunan, marga dan segala macam. Kebetulan ia dan keluarganya pergi merantau dari ke ibukota sejak lama, dan ia memang lahir dan dibesarkan di ibukota. Hingar bingar dunia modern membuatnya berpikir, "mengingat asal-usul sudah tak penting lagi."
Beda cerita dengan kisah salah seorang kakak kelas asal Kendari. Meski 4 tahun lebih berada di Jawa, logat Kendarinya masih terdengar sangat jelas, bahkan kadang saat berucap bahasa Indonesia tercampur dengan bahasa Kendari. Ia bukan tak menghormati budaya dimana tempat ia tinggal. Ia pun mempelajari bahasa Jawa, dan ia bisa nyambung jika seseorang berbicara menggunakan bahasa Jawa padanya. Ia pernah berucap,' saya bukan tak menghargai budaya sini. Saya pun belajar, menurunkan intonasi bicara dengan yang lebih tua, jalan menunduk saat melewati sekumpulan orang yang duduk-duduk. Tapi saya tak mau jika diminta meninggalkan logat asli saya, ini bahasa ibu saya. Ini tanda saya orang Kendari dan saya bangga mengakui berasal dari sana.'
Saat snorkeling di Karimun, saya menginap di Pulau Kemujan, sebuah homestay kecil berdinding bata tanpa semen dengan keluarga kecil yang tinggal di rumah yang sama dengan bangunan penginapan. Saya heran saat mendengar mereka mengobrol. Saya tak pernah mendengar bahasa yang mereka gunakan. Karena Karimun masih termasuk lingkup Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, saya berpikir semua penduduknya menggunakan bahasa jawa. Usut punya usut, ternyata di sana masih cukup banyak masyarakat keturunan suku bugis. Bahasa yang mereka gunakan pun bervariasi, bahasa bugis, Indonesia dan juga jawa. Meski jauh dari tempat asal mereka tak pernah melupakan asal-usul mereka, bugis.
Belajar dari Gado-gado
Banyak orang berkata, "lupakan asal daerahmu, kita adalah satu Indonesia". Saya tak setuju. Untuk menjadi satu Indonesia yang solid kita tak boleh melupakan asal-usul kita. Indonesia unik di mata dunia karena meski sangat beragamnya budaya dan bahasa kita, tak membuat kita tercerai berai dan tetap menjadi satu negara.
Seperti halnya gado-gado. Gado-gado yang lezat karena semua dari bahan terbaik. Tauge terbaik, telur terbaik, sambal kacang terbaik, barulah menjadi gado-gado yang lengkap dan lezat. Menjadi Indonesia yang satu justru kita harus berpegang teguh pada asal-usul kita, menjadi seorang jawa yang benar-benar jawa, seorang batak yang benar-benar batak, atau mungkin seorang bugis yang bukan bugis abal-abal, agar menjadi Indonesia yang solid dan lengkap. Indonesia tak akan pernah menjadi Indonesia sesungguhnya tanpa suku-suku di daerah. Perbedaan bukan alasan, karena itulah para pendahulu kita membuat semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".
Menjadi satu karena persamaan itu biasa, tapi bersatu karena perbedaan? Hanya Indonesia yang bisa.