Travelinglah Sejauh Mungkin, Karena Kita (Akan) Rindu Jakarta
Euforia ini terus akan berlangsung hingga puncaknya, Hari Raya Idul Fitri tiba. Kemudian sama seperti tahun-tahun sebelumnya, segalanya euforia ini akan musnah begitu membaca berita bahwa, pendatang—kaum urban—siap menyerbu Jakarta seusai Lebaran. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan data yang diambil pada Agustus 2014 lalu, jumlah pemudik arus balik ini bahkan hampir mencapai 70.000 orang!
Kenapa sih harus ke Jakarta? Sudah penuh orang, tiap tahun masih saja terus didatangi orang. Apa sih daya tarik Jakarta? Kotanya macet, banjir, ruwet, panas. Belum lagi soal orang-orangnya yang nggak ramah. Banyak kasus penculikan, copet, maling, sampai bandar narkoba. Alasan apa sih yang membuat orang berbondong-bondong pergi ke Jakarta?
Saya jadi ingat, seorang teman yang tinggal di Semarang, dengan mantap mengemukakan alasan kenapa ia tak mau ikut-ikutan mencari nafkah di Jakarta, “nggak ah, Mbak. Kotanya serem. Banyak copet-nya, tho?”
Salah satu alasan yang mungkin ia dapatkan saat banyak menonton sinetron, atau berita kriminalitas di jam makan siang. Saya sendiri tak punya cukup argumen untuk menyanggah dan hanya bisa menjawab, “ya, copet kan ada di mana-mana ada, Mbak.”
Di balik segala ketidaknyamanan yang ada, tak diingkari, butuh waktu yang tak sebentar untuk jatuh cinta pada Jakarta. Beragam jenis keruwetannya seolah menjadi akar masalah yang menjadikan kita—terutama saya yang nggak suka hiruk-pikuk keramaian—pernah ingin buru-buru minggat. Ketimbang lama-lama di Jakarta, senang rasanya membayangkan hidup di kota-kota kecil di lereng pegunungan yang sejuk, sepi, dengan masyarakat yang setiap hari mengumbar senyum. Tak perlu grasak-grusuk mengejar angkutan atau berdesak-desak berdiri di dalam angkutan sambil sesekali memaki dan dimaki orang. Segalanya bisa dilalui dengan tenang, waktu pun bisa dimanfaatkan dengan maksimal, tanpa perlu menghabiskan sia-sia di jalan.
Tetapi, rasa tak suka dan keinginan besar minggat dari kota padat Jakarta, benarkah sungguh-sungguh ada? Benarkah kita sungguh-sungguh membenci Jakarta?
Saya jadi ingat tentang sebuah perjalanan saya ke Jawa Timur, sebulan lamanya. Tinggal di desa cukup terpencil. Di mana banyak barang-barang vital, sulit didapat. Untuk pergi ke kota dan membeli keperluan—seperti charger handphone yang tiba-tiba rusak—saja, butuh waktu kira-kira 45 menit – 1 jam dengan mengendarai motor. Sekilas, memang bukan waktu yang lama, mengingat sudah umum rasanya bila di Jakarta, kita wajib mempersiapkan waktu sekurang-kurangnya 1 jam untuk menjangkau tempat, bahkan bila tempat itu sama- sama berlokasi di Jakarta. Namun, mengingat di desa tidak ada macet, maka jarak tempuh yang harus dilalui, lumayan!
Saat dahulu saya lelah berpanas-panasan saat mengitari Jakarta, saya pun tinggal masuk ke mal atau ngadem di minimarket. Belum lagi bila tiba-tiba saya ngidam makanan fastfood. Bila terkendala karena waktu dan jarak yang jauh, tak akan ada sistem delivery order di sini. Apalagi Gojek, atau Grabtaxi yang bisa dipesan hanya lewat usapan jari. Hiburan seperti konser atau pagelaran seni adalah kemewahan tersendiri di sini. Tentu saja, ada pasar rakyat—dengan kemeriahan komidi putar—sebagai penggantinya. Tapi, tetap saja sensasinya berbeda. Maka pelarian terakhir saya mencari hiburan adalah dengan menemukannya di situs maya. Jika ada waktu kosong, jadilah saya langganan keluar-masuk warnet. Itu pun harus banyak-banyak bersabar sebab internet yang ada kadang lelet!
Pada kenyataannya, hidup di kota sepi dan tenang tak melulu baik. Maka dengan susah payah saya harus mengakui, saya kangen Jakarta. Saya kangen ngobrol ngalor-ngidul hingga malam tanpa takut sepi, saya kangen naik kereta, saya kangen lihat pengamen yang bernyanyi sambil pakai biola, saya kangen menonton bioskop, saya kangen makan fastfood, saya kangen minimarket dekat rumah yang selalu jadi penolong saat keadaan jadi darurat.
Bagaimana jika kita tak pernah benar-benar membenci Jakarta? Bagaimana bila keinginan kabur hanyalah refleks semata ketika tekanan demi tekanan sedang berada di puncak-puncaknya? Mungkin kita hanya merasa lelah, penat, dan ingin keluar dari rutinitas yang sama setiap harinya. Mungkin kita hanya membutuhkan jeda, waktu berkualitas untuk diri, agar bisa kembali berenergi seperti semula.
Mungkin segalanya hanya soal memandang Jakarta dari perspektif yang belum tepat. Dan yang harus kita lakukan adalah berusaha lebih peka, untuk melihat hal-hal lain yang berbeda, namun sama indahnya.
Saya akui, Jakarta memang punya banyak keburukan yang membuatnya jadi terasa tak bersahabat, semisal macet yang nggak ketulungan, banjir, tingkat kriminalitas tinggi, polusi mata, suara, hingga udara yang mengharuskan saya tiap hari pakai masker, individualitas tinggi di tengah kumpulan orang yang ramai semacam cendol, hingga kombinasi panas menyengat yang sesekali mampu bikin emosi jadi meningkat. Tapi sesungguhnya, Jakarta juga menawarkan banyak cara bagi kita untuk memaafkan itu semua dan sekali lagi, merasa jatuh cinta.
Jangan lupa, Jakarta yang memaksa kita jadi manusia tangguh. Harus bangun pagi-pagi untuk mengejar kereta atau angkutan umum lain agar terhindar dari macet, berdesakan dengan massa yang berjejal hanya karena takut terlambat, kita terbiasa untuk jadi manusia tangguh yang nggak mau menyerah pada keadaan. Jangan lupa juga, ritme kerja yang serba cepat, memaksa kita memaksimalkan kerja otak. Cari dan gali terus ide kreatif. Membuat kita jadi peka—sebab banyak hal indah bisa ada di mana saja.
Serupa ibu, tak bisa disangkal, Jakarta menghidupi kita. Ialah sumber energi kita. Di berbagai penjuru Jakarta, jutaan orang bekerja siang-malam untuk menghidupi keluarga maupun dirinya sendiri. Dari bapak penjual asongan hingga model papan atas, masing- masing berjuang, bergelut dengan mimpi akan kehidupan yang lebih baik. Dan ketika sukses kelak, mereka akan pulang dan menceritakan mimpi-mimpi yang sudah terwujud dengan mata berbinar. Ini bukan lagi soal nominal, Jakarta adalah sebuah magnet—kota penuh mimpi bagi para pengadu nasib.
Maka benarlah kata seorang teman di suatu pagi, ketika saya uring-uringan karena macet yang tak hilang, lalu kelak berniat akan segera ngabur dari Jakarta: “Banyak kota cantik yang lebih sepi, sejuk, nyaman, aman, dan damai daripada Jakarta. Tapi percaya deh, dalam beberapa bulan, sebenci-bencinya lo sama Jakarta, lo tetep bakal kangen Jakarta.”