Keramahan Jakarta di Dalam Angkot Ciputat - Bogor
Kali ini saya sudah duduk manis di angkot kedua setelah perjalanan dari Tangerang-Ciputat. Trayek kedua, saya akan lanjut Ciputat-Parung dan tujuan akhir saya adalah Bogor.
Ini perjalanan pertama saya seorang diri di kota besar.
Setengah perjalanan, angkot melambat, menepi, dan berhenti. Seorang wanita menggandeng anak kecil masuk sambil menenteng banyak bawaan.
Saya yang sedang duduk di bagian belakang supir, mengalihkan pandangan ke arah bocah kecil. Usianya berkisar 6-7 tahun.
Wanita yang datang bersamanya masih sibuk membenahi barang bawaannya.
‘Mah, es krimnya bukain Mah,’ si bocah merengek sambil menarik-narik baju ibunya.
‘Bentar Dek, mamah masih membereskan ini.’
‘Mah,' ia cemberut.
‘Sini Adek, biar Ibu bukain,’ seorang ibu paruh baya yang duduk di sampingnya menawarkan bantuan. Ia tersenyum.
Anak kecil itu mengangguk-angguk menggemaskan.
‘Wah, terima kasih Ibu,’ Ibu dari anak tersebut memalingkan wajahnya dan membalas senyumnya.
Kedua ibu tersebut menjadi akrab, melanjutkan obrolan jauh dari topik es krim.
Saya tersenyum takjub. Jakarta tak 'sejahat' yang saya lihat di media. Yang saya tahu, orang Jakarta tidak seramah orang desa, seperti yang pernah dibahas seorang penulis buku, Ahmad Tohari. Dia berkata semua yang di Jakarta serba tidak manusiawi, tak ada senyum ramah, semua terburu-buru, saling serobot.
Selain itu sayapun pernah mendapatkan hal yang tidak menyenangkan di Jakarta. Di kampung halaman saya, Banjarnegara, setiap berpapasan dengan orang lain, mereka akan saling menyapa dan tersenyum. Kebiasaan itu saya bawa sampai di Jakarta.
Jangankan membalas senyum. Wanita paruh baya yang saya sapa dengan senyum itu malah memalingkan muka dengan ekspresi tidak menyenangkan.
'Mungkin di sini bukan tempatnya untuk beramah-tamah,' pikir saya.
Hari ini saya belajar sesuatu. Kita tak bisa menggenalisir sesuatu hanya berdasar 1 kejadian, apalagi hanya 'kata media' -entah kenapa media makin sulit dipercaya pada zaman sekarang ini.
Pandangan buruk tentang orang-orang Jakarta dengan segala keegoisannya, segala ketidakpeduliannya, dan tentang segala ketidakramah-tamahannya, berubah.
Sebuah ide tiba-tiba muncul.
Saya yang masih buta arah di kota orang, langsung terpikir untuk mencoba memberanikan diri.
‘Bang, kalau mau ke Bogor, ganti angkotnya dimana ya?’
‘Nanti, Eneng turun di Parung. Ini angkot juga sampai Parung saja.’
‘Mau tujuan kemana, Neng?’
‘Ke Perumahan Bilabong, Bang.’
‘Nanti bilang saja sama sopirnya. Tahu kok tempat itu.’
‘Iya Bang. Terima kasih.’
Adem. Walau sedikit takut karena sopir berbadan gempal, bertato, dan bermuka sangar.
Bahkan percakapan saya dan sopir angkot berlanjut. Hampir seperti obrolan kedua wanita tadi. Melebar sampai ke luar dari titik percakapan awal. Obrolan tentang pekerjaannya, hingga masalah kuliner.
Jakarta masih kota yang ramah, saya yakin itu -setidaknya tidak semuanya jahat.
Lupakan apa kata orang. Kamu perlu memastikannya sendiri. Karena pengalaman masing-masing orang akan berbeda walau di tempat yang sama
Sampailah angkot dipemberhentian.
Saya melanjutkan perjalanan untuk mencari angkot ketiga dengan trayek Parung-Bogor. Tidak ada ruang tersisa di angkot ketiga ini. Saya semakin menikmati perjalanan yang saya tempuh kurang lebih 2 jam.
Tepat di depan gapura Perumahan Bilabong, angkot menepi. Petualangan kecil saya berhenti di sini.