Tekad Tiga Wanita Tangguh Mahitala Unpar Kibarkan Merah Putih di 7 Puncak Tertinggi Dunia
Setelah berhasil mengibarkan bendera merah putih di Gunung Carstenz Pyramid, Papua, Indonesia pada Agustus 2014 dan Gunung Elbrus, Rusia serta Gunung Kilimanjaro, Tanzania pada Mei 2015 lalu, Tim The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (WISSEMU) akan melanjutkan misi pendakian 7 puncaknya dengan mendaki Gunung Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina, yang merupakan puncak tertinggi di Benua Amerika Selatan dan puncak tertinggi kedua dalam rangkaian seven summits setelah Gunung Everest.
Tiga pendaki wanita tersebut, yakni Fransiska Dimitri Inkiriwang (22), Mathilda Dwi Lestari (22), dan Dian Indah Carolina (20) itu akan berangkat ke Argentina pada hari ini, 11 Januari 2016. Mereka akan melakukan 'summit attack' pada 27 Januari dan direncanakan pulang ke Indonesia pada 5 Februari 2016.
Mereka akan melakukan aklimatisasi dalam beberapa hari sebelum melakukan pendakian. Termasuk melakukan tes kesehatan ulang untuk memastikan kondisinya siap untuk mendaki.
Mereka berangkat bertiga, sedangkan tim pendukungnya berasal dari pemantau lokal Aconcagua.
Sulitnya jalur pendakian Aconcagua, membuat persiapan dan perencanaan mutlak diperlukan. Lari dan latihan beban ditambah dengan yoga menjadi 'santapan' wajib dari tiap anggota tim demi menambah endurance dan kekuatan mental.
Ditambah lagi dengan bedah peta, latihan teknik navigasi dan persiapan alat-alat yang mendukung pendakian, semua dipersiapkan dengan matang demi lancarnya perjalanan ini.
Didedikasikan untuk Norman Edwin dan Didiek Samsu
Tiga pendaki gunung wanita Mahitala Unpar akan mendedikasikan pendakian mereka ke puncak Gunung Aconcagua, Argentina bagi dua pendaki Indonesia yang meninggal di gunung yang memiliki ketinggian 6.962 mdpl tersebut. Kedua pendaki tersebut yakni Norman Edwin dan Didiek Samsu.
Kedua pendaki berpengalaman asal Indonesia tersebut meninggal pada tahun 1992. Saat itu, keduanya tengah melakukan ekspedisi seven summits.
Aconcagua yang terletak di jajaran Pegunungan Andes memiliki cuaca dingin yang ekstrim ditambah badai angin yang sangat berbahaya, dikenal dengan sebutan el viento blanco. Angin kencang yang kabarnya dapat mencapai 90 km/jam bertiup bersamaan dengan kabut yang ditambah dengan hujan salju merupakan gambaran sederhana dari badai berbahaya ini. El viento blanco inilah yang diduga menjadi penyebab meninggalnya pendaki berpengalaman dari Indonesia yaitu (Alm) Norman Edwin dan rekannya (Alm) Didiek Samsu pada saat melakukan ekspedisi seven summits kala itu (tahun 1992).
Tekad baja!
Ekspedisi 7 summits hanya untuk orang-orang bermental baja. Menurut data statistik yang dilansir www.7summits.com, hingga saat ini tercatat 348 orang di dunia telah berhasil mencapai seven summits dan 33 orang di antaranya adalah wanita. Namun, Indonesia belum menyumbangkan satupun wanita dalam jajaran The Seven Summiteers.
Laki-laki dan wanita memang memiliki fisik berbeda. Salah satu perbedaannya adalah siklus menstruasi yang bisa mengurangi darah dalam tubuh. Saat pendakian, kondisi emosional sangat berpengaruh pada mental. Ujung-ujungnya bisa memengaruhi fisik saat mendaki. Untuk menyiasati kondisi tersebut, tiga 'Srikandi Mahitala' ini akan mengonsumsi obat yang dapat menghambat siklus menstruasi.
Bila pendakian itu berhasil, akan tersisa tiga gunung lagi dari rangkaian seven summits yang memiliki tingkat kesulitan berbeda dan membutuhkan usaha yang lebih dibandingkan gunung-gunung sebelumnya.
Lima tahun silam tepatnya pada 9 Januari 2011 Sofyan Arief Fesa, Xaverius Frans dan Broery Andrew Sihombing tiga dari empat orang anggota Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (ISSEMU) berhasil menggapai puncak Gunung Aconcagua yang kemudian pada 29 Januari 2011 menyusul Janatan Ginting anggota terakhir dari Tim ISSEMU yang menyelesaikan pendakian itu.