Fakta Masyarakat Pulau Sabu - Nusa Tenggara Timur, yang Jarang Orang Tahu
Seperti pagi sebelumnya, 250 penumpang dan awak kapal melaksanakan aktivitas rutin apel pagi, senam, sarapan dan mandi. Pertengahan September 2013 silam, kami memasuki hari ke-12 dalam pelayaran menyinggahi pulau-pulau di gugus lesser sunda. Kapal yang kami tumpangi membunyikan klakson dan memperlambat layu layarnya. Ini berarti daratan pulau sudah dekat dan kapal akan segera bersandar. KRI Banda Aceh bernomor lambung 593 itu segera mengambil ancang-ancang untuk melempar sauh ke Pelabuhan Seba di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur.
Salah satu kapal bertonase terbesar kebanggaan TNI Angkatan Laut ini menarik perhatian penduduk yang kebetulan sedang berada di area pelabuhan waktu itu. Maklum, tak banyak kapal besar menyinggahi pulau yang berada antara Sumba dan Rote ini. Kapal penyeberangan reguler dari Kupang hanya dua kali dalam seminggu, itupun jika gelombang laut sedang tidak berkecamuk.
Saya kembali mengontak Bapak Elton, pegawai dinas pariwisata setempat yang beberapa hari sebelumnya sudah bersepakat akan mendampingi kegiatan kami selama di Pulau Sabu. Benar saja, begitu turun dari tangga kapal, saya langsung disambut sosok tegap berusia sekitar 45 tahun. Bapak Elton yang memang warga asli pulau mengalungkan kain tenun Sabu ke leher saya sebagai tanda ucapan selamat datang. Kami berbincang sejenak mendiskusikan lokasi dan agenda yang akan kami tuju pada hari itu. Pak Elton pun manut, segera menyalakan motornya untuk mengantar saya ke beberapa kampung adat dan objek alam di sekitar Pulau Sabu.
Meninggalkan pelabuhan, kami terlebih dahulu mengisi BBM sepeda motor agar cukup untuk mengantar kami berkeliling seharian ini. Saat akan membayar bensin yang dijual eceran itu (karena memang tak tersedia SPBU di P. Sabu), saya sempat kaget dengan banderol yang ditagih, 65 ribu rupiah per liter! Harga ini nyaris 10 kali lipat harga normal BBM bersubsidi di kota-kota besar. Karena memang butuh dan sadar bahwa daerah ini begitu terisolir di lautan yang sepi, saya akhirnya kemudian mengikhlaskan beberapa ratus ribu untuk membayarnya.
Secara geografis, Sabu merupakan bagian dari Kepulauan Sabu yang terdiri dari Pulau Sabu, Raijua dan Dana. Menurut cerita tetua setempat, dahulunya terdapat satu lagi pulau yang terdapat di daerah ini yaitu Pulau Rai Kelara. Namun musibah air bah yang datang pada suatu ketika, menenggelamkan pulau bersama seluruh penduduknya.
Dalam penuturan bahasa lokal, masyarakat Sabu menyebut tempat tinggal mereka dengan Rai Hawu. Sedangkan orang-orang yang menetap didalamnya disebut sebagai Do Hawu. Hal ini dimungkinkan juga terkait dengan karakter linguistik lokal yang tak mengenal pelafalan huruf s, f dan v. Penyebutan Sabu juga sempat berganti menjadi “Savu” ketika datangnya bangsa Portugis dan Belanda pada abad ke-17. Salah satu dari rombongan Eropa ini dipimpin oleh kapten James Cook dengan kapal Endevour-nya yang mahsyur dikenal sebagai penemu benua Australia.
Legenda menuturkan, nenek moyang orang Sabu datang dari seberang yang disebut bou dakka ti dara dahi, agati kolo rai ahhu rai panr hu ude kolo robo. Kalimat ini berarti orang yang datang dari laut di tempat yang jauh sekali. Cerita lain juga menyebut leluhur Sabu berasal dari India. Beberapa hal yang setidaknya bisa memperkuat hipotesis kedua ini ialah ditemukannya kain patola (kain adat peninggalan leluhur) yang bercorak khas India dan menggunakan benang emas dalam bentukan motifnya. Di beberapa kampung, sekarang kita juga masih bisa menjumpai –walau sudah sangat longgar- pengelompokan masyarakat berdasar kasta, meski mereka bukan penganut Hindu.
Secara administratif, Pulau Sabu seluas 460,78 kilometer persegi terbagi dua; barat dan timur. Sabu barat menaungi Seba, Mesara, Menia dan Pulau Raijua sedang di sisi timur terdapat Liae dan Dimu. Kondisi pulau relatif datar dan kering, sebab seperti halnya Sumba dan Rote, Sabu merupakan dataran non-vulkanik yang tidak memiliki gunung tinggi untuk menangkap hujan. Berjalan di gugusan ini membawa kita seolah keluar dari mainstream-nya pulau besar utama Indonesia yang cenderung bergunung dengan hamparan pohon hijau sejauh mata memandang.
Menurut penuturan Pak Elton, hal ini pulalah yang menjadi sebab kontrasnya dampak perubahan musim pada kehidupan di pulau. Bulan April hingga November saat intensitas hujan sangat rendah, tanah akan sangat kering dan tandus sehingga penduduk sering menamakannya “musim lapar”. Sebagai konsumsi harian, orang Sabu mengandalkan minuman dari fermentasi buah lontar dan memakan padi, kedelai, jagung serta sorghum yang mereka tanam pada musim hujan. Praktis hasil pertanian di Sabu tak banyak yang dijadikan komoditas dagang karena hal itu juga berarti mengurangi bekal pangan warga menghadapi masa panceklik.
Menyusuri jalanan, saya merasakan aroma eksotisme yang ditawarkan pulau ini. Saat baru menginjakkan kaki di desa adat Teriwu, tiba-tiba saya dihadiahi salam selamat datang yang cukup unik. Seorang bapak paruh baya menghampiri dan menyentuhkan hidungnya ke hidung saya. Karena terlihat cukup kaget dan bingung, ia kemudian menjelaskan bahwa itulah salam khas Sabu yang bernama Henge-dho’. Salam ini dilakukan tanpa memandang status sosial sebagai ungkapan sukacita, hormat, sayang dan empati.
Aktivitas perekonomian warga desa bergantung dari kegiatan beternak, menangkap ikan, mengolah rumput laut, membuat kerajinan, berdagang serta memproduksi gula dari nira lontar. Menariknya, aktivitas ini tidak dilakukan secara terpisah. Seorang petani rumput laut sangat mungkin sekaligus juga berprofesi sebagai nelayan, peternak dan lainnya. Saya mendapati warga melakukan usaha-usaha ini masih dengan cara yang sangat tradisional. Nelayan mengandalkan lukah, bubuh, jala, pukat dan pancing untuk menjerat ikan saat melaut. Begitupun yang terlihat pada kegiatan beternak, dimana hewan peliharaan seperti kuda, kerbau dan kambing dibiarkan lepas tanpa kandang.
Jingitiu dan Tenun Lokal yang Tetap Eksis
Saya diperkenalkan dengan seorang gadis Sabu berumur 20 tahunan, Yully Padda namanya. Obrolan singkat bersama mahasiswi PGSD Universitas Terbuka ini membukakan banyak dimensi yang sama sekali baru bagi saya. Dua hal menarik yang jadi catatan penting ialah agama lokal dan tradisi tenun di Sabu.
Yully menceritakan, sebelum kristen masuk dan berkembang seperti sekarang, mayoritas orang Sabu menganut agama yang mereka namakan Jingitiu. Walaupun penganutnya terus berkurang, norma dan pola pikir Jingitiu masih dapat dengan mudah kita temui dalam sendi kehidupan. Hal ini terlihat setidaknya pada pembuatan kalender adat yang menentukan masa tanam, panen, dan puluhan upacara lainnya. Masyarakat Sabu juga masih memeprcayai hadirnya roh leluhur dalam kehidupan sosial. Beberapa dewa yang cukup dominan seperti Uli Rae sebagai penjaga kampung, Maki Rae sebagai pengemudi kampung dalam sisi timur serta Aji Rae dan Tiba Rae sebagai penangkis bahaya dan pemberi pertolongan.
Dalam hal menenun, tradisi yang berjalan di Sabu secara turun temurun semakin memperkaya khazanah kerajinan tangan NTT yang memang sangat indah dan beragam. Secara sederhana, tutur Yully, benang direntangkan pada langa (kayu perentang khusus) supaya mudah mengikatnya sesuai motif setelah dilumuri lilin. Pencelupan tiga warna khas Astronesia diperoleh dari ramuan nila untuk warna biru pekat/hitam, merah dari mengkudu dan kuning dari kunyit.
Motif dasar yang dikenal dalam dunia tenun Sabu berupa motif geometris dan flora-fauna. Genevieve Duggan, antopolog Perancis dalam publikasinya yang berjudul “Ikats of Savu – Women Weaving History in Indonesia” menjelaskan bahwa corak tertentu pada kain tenun Sabu dipercaya dapat menjauhkan pemakainya dari gangguan alam, bencana, bahkan roh jahat. Selain konsisten melakukan penelitian sejak medio awal 1990-an, Duggan juga pernah mempopulerkan tenun Sabu hingga ke Inggris. Ia mengoordinasi dan mendampingi seniman lokal terbang ke museum Horniman serta menyelenggarakan workshop pembuatan tenun di Belcony Garden. Kedua tempat ikonik ini berada di kota London, UK.
Sabu, Surga bagi Penyesap Eskapisme
Keunikan serta kekayaan Sabu tentu tak cukup digambarkan dalam narasi singkat ini. Ada banyak keotentikan lain yang baru terasa jika bersentuhan dan mengunjungi langsung daerahnya. Sabu barangkali bisa jadi alternatif destinasi menarik bagi penyesap eskapisme, tipe pejalan khusus yang menyenangi kontemplasi mendalam, pencarian jati diri, atau menjalani rite de passage kehidupan. Pulau ini cocok bagi individu yang ingin berpindah sejenak ke latar sosial lain akibat mengalami kesemrawutan dan kehampaan dari ranah sosial yang jamak ditemukan dalam kehidupan perkotaan.
Perjalanan semacam ini setidaknya dapat dijumpai pada kisah para tokoh di beberapa kitab suci. Hijrahnya Muhammad dari Makkah ke Madinah, Yesus yang berjalan dari Nazareth ke Galilea hingga kisah Siddharta Gautama yang menempuh perjalanan sangat jauh sebelum akhirnya menjadi Buddha.
Sabu memang pulau terpencil yang minim fasilitas dan jauh dari hingar bingar modernitas. Tapi disanalah akan ditemui keteguhan mempertahankan warisan leluhur, tenunan tiada dua serta ketangguhan melanjutkan hidup di tanah yang tak “subur permai”. Dari tempat seperti inilah kita belajar arti sesungguhnya sebuah “journey”, yang tak sebatas kekerenan absurd nan banal.
Artikel juga bisa kamu baca di Malesbanget.com