Misteri Bocah Rambut Gimbal, Para Raja Dataran Tinggi Dieng
Semua traveler tentu ingin mendapatkan perjalanan yang sempurna. Jika kamu memang benar ingin mendapatkannya, segera telpon agen wisata dan mereka akan mengatur segalanya untukmu.
Ketidaksempurnaan perjalanan justru dapat memberimu pengalaman tak terlupakan. Perkenalan tak sengaja dengan seorang pria paruh baya yang sedang kesusahan mengganti ban bocor di tepi jalanan Wonosobo membuatku terlambat datang ke acara "Dieng Culture Festival".
Namun, yang kudapat lebih dari itu, saat diajak bertandang kerumahnya untuk sekedar menghangatkan diri dengan secangkir kopi, aku mendapatkan lebih dari apa yang mungkin bisa kudapatkan dari para turis lain yang mengunjungi "Dieng Culture Festival".
Pria paruh baya tersebut ternyata orang tua dari salah seorang bocah berambut gimbal di dataran Dieng ini. Saat semua orang berdesak-desakan ingin menyaksikan ritual pemotongan rambut gimbal Dieng, aku justru berkesempatan berkenalan dan berinteraksi langsung dengan si bocah rambut gimbal.
Rambut gimbalnya yang panjang membuat penampilannya nampak lebih dewasa dari umur sebenarnya. Tingkah polahnya tak jauh berbeda dari anak-anak pada umumnya, hanya saja dia tak banyak bicara. Namanya Isnaini, 6 tahun.
Pak Junaedi, pria paruh baya yang kutemui yang juga merupakan ayah dari Isnaini bercerita banyak tentang legenda bocah rambut gimbal Dieng.
Dieng, sesuai dengan namanya “Dihyang” yang berarti tempat para arwah leluhur, di sini berbagai mitos terasa sangat kental dalam kehidupan masyarakat.
"Bocah gimbal dianggap sebagai keturunan dari pepunden atau leluhur pendiri Dataran Dieng"
Rambut gimbal merupakan anugerah, bukan sebuah aib atau kutukan. Bahkan orang tua si bocah rambut gimbal, termasuk Pak Junaedi, menganggap bocah rambut gimbal bukan murni anak mereka sendiri, melainkan titipan dewa, apapun keinginan dari si bocah rambut gimbal harus selalu dituruti, sehingga dalam banyak hal bocah rambut gimbal nampak sedikit lebih manja dibandingkan dengan anak-anak lain yang tidak berambut gimbal.
Sehari-hari Isnaini dipanggil “mbel” oleh teman-teman sepermainannya. Pada umumnya bocah rambut gimbal memiliki fisik dan daya tahan tubuh lebih kuat dari teman-teman sebayanya. Uniknya, ketidakcocokan justru lebih banyak terjadi dengan sesama bocah rambut gimbal. Hampir bisa dipastikan mereka akan bertengkar jika bermain dalam kelompok yang sama. Hal misterius lainnya, Isnaini dan bocah rambut gimbal lain selalu rewel saat malam jumat.
Pak Junaedi bercerita, Isnaini lahir dengan rambut normal saat dilahirkan dulu. Perubahan muncul saat dia berusia 1 tahun. Malam sebelumnya tak nampak gejala apapun, namun saat bangun tidur rambut Isnaini tiba-tiba menjadi gimbal. Isnaini yang sebelumnya sering sakit-sakitan, setelah rambutnya berubah menjadi gimbal, sangat jarang bahkan hampir tidak pernah jatuh sakit.
Baca juga : 5 tempat misteri di pulau jawa yang wajib kamu kunjungi minimal sekali dalam hidupmu
Tak ada perawatan khusus untuk rambut gimbalnya. Dia menggunakan shampo biasa sehari-hari. Hanya saja, memang rambut gimbalnya tak pernah disisir dan tak boleh dipotong. Rambut gimbal hanya boleh dipotong dengan syarat tertentu, yaitu dilakukan ritual Potong Gombak, harus atas keinginan si bocah sendiri dan setelah permintaan si bocah berhasil dituruti. Jika rambut dipotong tanpa dipenuhinya syarat-syarat tersebut, diyakini keluarga si bocah rambut gimbal akan mendapat musibah.
Menurut Pak Junaedi, hingga kini Isnaini belum ada inisiatif ingin memotong rambut gimbalnya. Dirinya mengaku tak bisa memaksa. Dirinya pun berharap Isnaini tidak memiliki permintaan yang aneh. Dulu ada kisah seorang bocah rambut gimbal yang meminta kepala ayahnya sebagai syarat menjalani ritual Potong Gombak. Permintaan yang tidak mungkin tersebut membuatnya berambut gimbal hingga meninggal dunia.
Pak Junaedi mengaku sedang menabung jika sewaktu-waktu Isnaini ingin menjalani ritual Potong Gombak karena untuk menggelar acara potong gombak dibutuhkan biaya besar. Selain harus menyediakan berbagai sesajen seperti kambing etawa, ayam, telur, pagelaran seni, dirinya juga belum tahu apa permintaan dari Isnaini. Dari lubuk hatinya, dirinya mengaku tidak tega menyaksikan ritual Ruwat Bocah rambut gimbal karena ada beberapa prosesi yang mirip dengan prosesi yang dilakukan untuk orang meninggal seperti pelemparan beras kuning dan uang koin saat diarak menuju tempat ritual. Namun, adat tetap harus dijalankan, Pak Junaedi sudah menyiapkan hati untuk itu.
Setelah merasa cukup melepas lelah, aku berpamitan dengan keluarga Pak Junaedi.
Hal-hal yang dijelaskan Pak Junaedi tadi mungkin kurang dapat diterima akal dan nalar orang luar. Namun, bagi masyarakat Dieng, fenomena bocah berambut gimbal sudah sangat biasa. Mereka adalah para “raja” Dataran Dieng.