A PHP Error was encountered

Severity: 8192

Message: Function create_function() is deprecated

Filename: controllers/Post.php

Line Number: 84

Backtrace:

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/application/controllers/Post.php
Line: 84
Function: _error_handler

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/application/controllers/Post.php
Line: 22
Function: autop

File: /var/www/phinemo.com/html/apps/index.php
Line: 315
Function: require_once

ADVENTURE


Mendaki Everest: Berjudi dengan Kematian

Echi — 14 March 2016

hillary steps

Everest (8.850 mdpl) adalah daratan tinggi yang paling dekat dengan langit. Tidak berlebihan jika orang Nepal menyebutnya dengan Sagarmatha yang berarti sang Kepala Langit. Kemegahan dan keangkuhan puncaknya menjadikannya puncak tertinggi dunia.

Seakan ada gelar paripurna tersembunyi bagi mereka yang berhasil mencapai puncaknya. Setiap tahun, ratusan pendaki beragam bangsa berupaya mendapatkan gelar tersebut. Biaya yang besar tidak segan mereka keluarkan untuk bisa menjajal merengkuh ujung Kepala Langit. Sir Edmund Hillary, Pendaki termuka asal Inggris itu berhasil menapakan kaki diujung Everest pertama kali pada tahun 1953. Usaha yang keras, tekad yang kuat, dan materi yang besar pun dikorbankan. Tak sia-sia, namanya berada dijajaran teratas sejarah sukses pendakian Everest. Lalu, Tenzing Norgay, Patrick Morrow, Junko Tabei, dan sederatan nama lain menyusul kesuksesan Edmund Hillary.

Namun, kesuksesan itu berujung pada sederet kasus kontroversial Everest. Bagaimana tidak, jika akhirnya hal itu semakin memacu banyak orang untuk berada di puncak. Membludaknya jumlah pendaki menyebabkan resiko kerusakan lingkungan Everest dan membahayakan keselamatan pendaki itu sendiri. Para pendaki mengeluhkan lamanya mengantri di Hillary Steps. Saking lamanya menunggu, tidak sedikit dari pendaki yang terkena frostbite dan hypothermia. Dan akhirnya berujung pada kematian.

Fakta melonjaknya jumlah pendaki semakin diperburuk dengan cuaca ekstrim yang susah diprediksi. Sepanjang tahun, kecepatan normal angin adalah 51 mil (81 km/jam) dan rata-rata suhu tertinggi yaitu minus 27 derajat Celcius. Jika terjadi badai, angin dapat berhembus dengan kecepatan 118 mil dan temperatur dapat jatuh minus 73 derajat celcius. Kenyataan mengerikan lain adalah tipisnya oksigen di sana.

Beberapa faktor tersebut menjadi pembunuh utama para pendaki Everest. Setidaknya pada 2014-2015, total 40 pendaki telah meninggal. Ironisnya, sebagian besar jasad mereka tidak bisa dikembalikan. Biaya evakuasi yang mahal (sekitar $400 – $2,500 ) dan resiko yang tinggi untuk mengevakusai menjadi alasan mengapa jasad-jasad tersebut dibiarkan teronggok berselimut salju. Mayat beku masih berpakaian warna-warni lengkap sudah menjadi pemandangan umum di sepanjang jalur pendakian. Keberadaan mayat beku ini dimanfaatkan oleh para pendaki lain sebagai penanda sejauh mana mereka mendaki.

Kisah tragis terjadi pada mei 1996. Peristiwa tragis menimpa ketiga pendaki asal India. Laki-laki berusai 28 tahun ini bernama Tsewang Paljor, seorang polisi perbatasan India-Tibet. Paljor terpilih bersama Tsewang Smanla dan Dorje Morup, untuk jadi orang India pertama yang berkesempatan menaklukan Everest pada Mei 1996. Ketiga pendaki tersebut berhasil mencapai puncak pada 10 Mei. Namun mereka terjebak badai salju ketika perjalanan turun. Ketiganya pun meninggal di Everest. Gua ditemukannya korban meninggal pada pendakian waktu itu dikenal dengan the green booths cave.

Banyaknya korban meninggal tidak lantas membuat pemerintah setempat tinggal diam. Pemerintah Nepal menyebutkan tetap mempertahankan kemegahan Evereset dengan tidak menambah jumlah kematian selama pendakian. Menteri Pariwisata Nepal, Kripasur Sherpa telah memperketat izin pendakian. Hanya mereka yang sudah pernah “menaklukan” gunung-gunung di ketinggian lebih dari 65.000 meter lah yang diperbolehkan mendaki gunung setinggi 8.848 meter itu.

Para penyandang disabilitas, orang lanjut usia, remaja dan anak-anak dilarang mendaki. Menurut Kripasur, memperbolehkan pendaki tidak dalam keadaan fisik dan mental yang sehat sama saja dengan melegalkan bunuh diri. The Guardian.

Meskipun pada faktanya, usia dibawah 18 tahun atau di atas 75 tahun juga penyandang disabilitas, sangat jarang mendaki Everest. Namun, ide pembatasan usia ini disambut baik oleh ketua Asosiasi Pendaki Nepal, Ang Tshering Sherpa.

Penetapan biaya izin mendaki pun sudah ditetapkan pemerintah setempat. Pendaki harus mengeluarkan uang sebesar 11.000 USD jika ingin mendaki Everest lewat Nepal dan 7000 USD untuk jalur Tibet. Setidaknya setiap pendaki harus menyediakan total uang sebesar 35.000 – 100.000 USD. Biaya itu belum termasuk tiket pesawat terbang ke Nepal dan perlengkapan mendaki. Uang sebesar itu hanya untuk membayar izin mendaki, ongkos makan, dan menyewa sherpa. Bayangkan betapa mahalnya mendaki Everest.

***

Mendaki Everest bukan main-main. Jangan nekad jika kamu memang tak cukup pengalaman dan persiapan. Mendaki Everest sama dengan berjudi dengan kematian, hanya mereka yang bermental baja dan persiapan maksimal yang akan bertahan.

Bagikan artikel ini :