Pendakian Merbabu: Puncak Bukan Tujuan, Pulang ke Rumah adalah Harga Mati
Pagi itu hujan masih turun keroyokan secara membabi-buta di sebuah bukit di gunung Merbabu. Saya dan kedua teman masih meringkuk setengah mengantuk di dalam tenda dengan posisi jongkok dengan menggendong tas masing-masing. Sudah sejak semalam hujan turun disertai angin kencang hingga membuat tenda kami banjir semata kaki. Dan sudah beberapa jam kami tidak tidur karena kondisi tenda yang tidak memungkinkan untuk dijadikan tempat tidur. Lalu muncul ide untuk melapisi tas dengan plastik trashbag besar dan meletakkannya tegak di antara kaki, hingga jadilah sebuah tempat sandaran kepala untuk istirahat.
Kami duduk berdekatan tepat ditengah-tengah menyandarkan punggung masing-masing dan membuat lingkaran dengan harapan hawa panas dari dalam tubuh bisa cepat keluar dan menghangatkan seisi tenda. Selain itu, posisi ini juga membuat posisi kaki sedikit lapang dan lebih hemat tenaga untuk menahan beban.
Meskipun sudut bawah tenda sudah saya robek agar tersedia jalan air keluar, tapi rembesan dari atas tidak mampu untuk menghalangi air masuk dan membanjiri seisi tenda. Dengan terpaksa posisi jongkok sambil menggendong tas menjadi pilihan terbaik demi menyelamatkan barang-barang yang masih tersisa.
Satu sleeping bag dikorbankan sebagai pengganti selimut untuk bersama. Pakaian yang basah pun sudah diganti dengan pakaian kering walaupun kadang masih juga terkena tetesan air. Meskipun telah mencoba memejamkan mata, kondisi seperti ini memang tidak lantas membuat kami gampang terlelap. Berjam-jam kami sekedar ngemil dan ngobrol membicarakan apa saja supaya pikiran tidak kosong, sambil menunggu hingga hujan reda dan tenda tidak terlalu basah.
“ini terlalu ekstrim," kata saya setengah menggigil.
“Plan B?” kawan saya membalas.
Saya mengangguk mengiyakan. Kondisi ini sudah terlampau bahaya untuk dilanjutkan. Posisi kami persis di bawah bangunan pemancar. Perhitungan saya, kami belum setengah jalan menuju puncak. Kembali ke basecamp adalah pilihan paling masuk akal mengingat keadaan kami sekarang.
Menggigil, pikiran kosong, dan angin. Ini bahaya, terlalu berbahaya mengingat kompor tak bisa dihidupkan sebagai penghangat. Kami harus mengambil keputusan secepatnya. Turun segera adalah pilihan paling aman. Tidak hanya hujan badai, pasir dan ranting juga ikut terbang kesana-kemari. Tenda kami yang membelakangi tebing untuk penghalang angin menjadi berbahaya karena kemungkinan longsor dari atas bisa saja terjadi.
Sedangkan sepanjang jalan mendaki tidak kami temui satupun pendaki ataupun tenda lain. Kecemasan kami meningkat setelah tahu tenda kami tidak sanggup menahan beban air yang jatuh hingga merembes dan masuk sampai membanjiri isi tenda. Diluar angin, di dalam banjir.
Pilihan bertahan mungkin pilihan yang lebih bijak ketimbang berjalan di malam hari saat hujan dan kabut sedang klimaksnya. Terlebih lagi gunung ini adalah Merbabu, salah satu gunung dengan jalur terbanyak. Tersesat adalah hal yang mungkin terjadi dan harus dihindari.
Semalamam kami berdiskusi mencari jalan keluar dan menyusun rencana. Memperhitungan kondisi cuaca dan keadaan kami, sudah sepatutnya kami mempertimbangkan keamanan sebagai nomor satu. Barang-barang sudah kami kemasi, perut sudah diisi, rencana sudah pasti, tugas sudah dibagi, saatnya turun dengan hati-hati..
***
Ternyata pagi itu gunung Merbabu sedang menangis meraung-raung sejak malam harinya. Perkiraan kami meleset. Alam tak bisa ditebak sama sekali. Rencana kami kandas. Dan gagal sudah keinginan saya untuk mencicipi puncaknya.
Gunung ini memang gunung yang paling bikin saya kesal. Bukan karena medannya. Bukan pula karena ketinggiannya. Entah mengapa rekor saya dari 8 kali mendaki, hanya 2 yang sampai ke puncak. Dan ternyata tidak hanya saya, beberapa kawan ternyata mengalami nasib serupa. Bahkan ada yang belum pernah ke puncaknya dalam 11 kali pendakian.
Bagi saya, masih bersyukur kami masih diberi kesempatan untuk mencoba lagi meskipun gagal beberapa kali. Dunia mountaineering memang menuntut seorang individu mempunyai mental sekelas baja. Tidak hanya untuk menghadapi rintangan dan resiko, tetapi juga untuk bersabar dan bangkit lagi ketika terjatuh. Hitung dengan cermat. Kapan harus mundur, kapan harus maju. Prioritaskan keselamatan. Dan jangan anggap enteng apapun yang terjadi.
Jangan pernah jadikan puncak sebagai tujuan akhir. Pulang ke rumah adalah keharusan, harga mati. Tak bisa ditawar-tawar.
Kesempatan akan selalu ada bagi yang ingin mencoba. Toh, gunung tidak akan lari meski kadang sering ditutup. Alam selalu punya kejutan untuk kita pahami, bukan untuk dilawan. Kesombongan tidak diperkenankan untuk ditunjukkan apalagi hanya untuk sebuah foto yang kadang harus dibarter dengan harga nyawa.
Pulang dan kembalilah dengan aman sampai di rumah. Karena di rumah, akan selalu ada senyum yang akan menunggu kamu untuk pulang dengan selamat seutuhnya dan orang-orang yang ingin mendengarkan cerita langsung dari mulutmu.