Perjalanan ke Danau Toba, Saat Seorang Batak Pertama Kali Menginjak Tanah Kelahirannya
Kalau kamu baca namaku, pasti yang terbersit dalam pikiranmu, 'Ini cewek Batak nih, pasti udah sering ke Medan.'
Ah, aku bilang, 'belum, samasekali belum pernah!'
Pernah sebenarnya, dulu waktu masih bayi. Tapi, apa yang bisa diingat dari pikiran seorang bayi yang melulu pikirannya minta susu saat itu. Jadi, sebelum saya dilempar dari tetua-tetua tanah Batak, karena menyandang boru Batak tetapi belum pernah kesana, jadilah saya merencanakan trip ke Danau Toba. Trip yang benar-benar membuat sangat antusias, mengunjungi tanah kelahiran setelah sekian lama.
Akses Transportasi
Ada sebuah hal yang agak konyol pada perjalanan kali ini. Karena tiket pesawat saat itu lebih murah dari Kuala Lumpur Malaysia ke Medan dibanding dari Jakarta ke Medan -saya tinggal di Jakarta, jadilah saya ke KL terlebih dahulu.
Pesawat kami sampai pada malam hari di Medan, jadilah kami terpaksa menginap di kota Medan selama semalam. Tak masalah, karena penginapan kami sangat nyaman. Dengan mengeluarkan kocekhanya Rp. 175.000/2 orang, kami mendapat ruangan yang bersih, ber-AC dan sarapan pagi yang lezat. Dimana saya menginap? Di House of Zaza Zizi yang terletak di Jl. Muara Takus No. 16.
Keesokan harinya kami langsung bertolak ke Danau Toba melalui Siantar. Untuk mencapai Danau Toba, bisa saja dengan menggunakan bus dari Medan. Perjalanan bisa mencapai 4-5 jam. Biaya untuk sekali naik bus adalah sekitar Rp. 30.000 – Rp 50.000,- . Berdasar saran penjaga hotel, kami akhirnya memilih naik mobil travel dengan biaya Rp. 100.000/orang, dan ekslusif hanya saya, teman saya dan pak supir! Sepanjang perjalanan aku mendapat bonus cerita sejarah gratis tentang silsilah keluarga Batak -yang luar biasa panjang asal muasalnya dari marga satu ke marga lainnya, hingga akhirnya setelah turun dari taksi semua silsilah tadi langsung menguap hilang dari ingatan.
Setelah sampai di pelabuhan Tiga Raja, aku menaiki kapal penyeberangan menuju Tuktuk, sebuah tempat wisata favorit di Danau Toba. Biayanya adalah Rp. 15.000,-/orang dengan lama penyeberangan sekitar 45 menit – 1 jam.
Jangan Lupa Menawar!
Prinsip ini berlaku untuk apapun di Tuktuk, termasuk dengan biaya penginapan. Tawarlah! Memang aku merasa cukup aneh sewaktu mendengar tentang hal ini. Namun biasanya jika musim liburan, harga penginapan di sini bisa naik sampai 4 kali lipat mahalnya! Misalkan per-kamar biasanya hanya Rp. 100,000,- jika sudah musim liburan, harganya bisa sampai Rp. 400,000,-. Luar biasa kan?
Di Tuktuk, ada banyak toko suvenir. Sebaiknya jangan terburu-buru belanja di sini, sampai kamu tiba di Tomok dimana terdapat toko-toko suvenir yang memiliki lebih banyak varian. Jangan lupa menawar, namun jangan keterlaluan juga menawarnya.
Danau Toba atau Pantai Toba?
Setelah sampai di Tuktuk, cobalah tinggal di rumah tradisional Batak. Di sini banyak yang menyewakan penginapan bergaya Batak dengan harga berkisar 300-500 ribu/malam (setelah di tawar). Memang lebih mahal dari harga penginapan dengan bentuk kamar biasa. Namun, uniknya dari rumah ini adalah bangunannya yang berbentuk rumah panggung dan terbuat secara keseluruhan dari kayu. Pintunya pun beda dari pintu biasa. Bentuknya kotak bujursangkar kecil yang terletak cukup di atas sehingga kita perlu sedikit mengangkat kaki dan menundukan punggung untuk dapat masuk ke dalamnya. Agak repot memang, tapi seru!
Penginapan yang mempunyai view langsung ke Danau Toba menjadi pilihan terbaik di sini. Di pagi hari terbangun oleh hangatnya sinar matahari yang menyusup masuk dari celah-celah dinding kayu, ditambahn alarm dari debur ombak danau yang menghempas karang. Di tempat ini, warga lokal yaitu orang-orang Tuktuk menyebut danau dengan sebutan pantai. Bahkan banyak tulisan hotel yang membanggakan lokasi mereka dekat dengan pantai.
'Inanguda (tante), apalah ini maksudnya pemandangan tepi pantai?' tanyaku berlogat pura-pura Batak.
'Ini eda (panggilan ke sesama perempuan)...' Inanguda menunjuk ke arah danau.
'Lah, ini mah danau atuh, airnya aja air tawar,' pikirku dalam hati. Mungkin, frasa “pemandangan tepi pantai” dinilai lebih menarik wisatawan daripada “pemandangan tepi danau”. 'Kalau begitu, namanya nanti ganti jadi Pantai Toba dong,' pikirku sambil cekikikan sendiri dalam hati.
Bersepeda Keliling Danau Toba
Aku paling suka bersepeda saat traveling. Aku bahkan sudah memantapkan niat dalam hati, kalau sudah sampai Tuktuk, aku harus bersepeda ke Tomok, salah satu tempat wisata yang berjarak sekitar 8 km dari Tuktuk. Jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi jalanannya yang naik turun cukup membuat nafas tersengal dan berkali-kali turun dari sadel sepeda supaya bisa tetap bergerak pelan-pelan. Cukup membuat betis mengeras.
Pemandangan di sepanjang perjalanan, luar biasa! Tepat di depan sana ada perbukitan yang penuh dengan pohon-pohon menjulang tinggi nan hijau. Di sebelah kiriku ada Danau Toba yang hamparan airnya terlihat keperakan karena terpaan sinar matahari. Sebelah kanan banyak terdapat rumah-rumah tradisional Batak yang terlihat berdiri dengan tenang di bukit-bukit rendah. Atap-atap kayunya yang menungkik tajam menjadi ciri khas dari rumah Batak.
'Ini semua asli...Indahnya negeri ini,' aku berdecak kagum.
Uniknya makam Raja Batak dengan pahatan lebar di bagian dahi
Seperti yang sudah disebutkan diatas, Tomok merupakan tempat wisata terdekat dari Tuktuk. Disini kita bisa melihat makam Raja Sidabutar, Raja dari para orang-orang Batak. Lalu tarian Sigale-Gale, boneka kayu yang konon bisa menari-nari sendiri. Melihat pertunjukan Sigale-gale ini bisa di berbagai tempat. Yang aku kunjungi adalah yang terdapat di belakang toko-toko suvenir. Biaya per-orangnya adalah Rp 5.000,-. Namun aku harus menunggu beberapa saat hingga tempat tersebut penuh dengan pengunjung lainnya. Bisa saja meminta mereka langsung memulai pertunjukan, tetapi siap-siap merogoh dompet lebih mahal sampai Rp 100.000,- untuk satu kali pertunjukan. Disini kita diceritakan kisah Sigale-gale untuk kemudian kita diajak menari tor-tor bersama-sama. Siapkan uang kertas yang akan ditaruh di jari jemari tangan saat sedang menari. Setelah itu, kita bisa berfoto ria di depan Sigale-gale dengan menggunakan kain ulos Batak.
Ketika tiba di makam Raja Sidabutar, aku terheran-heran melihat bentuk makamnya. Bentuk pahatan yang lebar di bagian dahinya seakan memberi kesan bahwa orang Batak dari dulu memang berdahi lebar!
Kita tidak perlu membayar tiket masuk saat ke makam Raja Sidabutar, namun kita diharapkan memberikan donasi seikhlasnya untuk pemandu yang menerangkan sejarah makam tersebut. Sejarah makan ini sendiri cukup menarik karena ternyata patung wanita yang ada di atas makam sang Raja Sidabutar bukan patung istrinya, namun patung salah satu kekasihnya. Wuih!
Terbiasalah dengan karakter orang Batak
Saat tiba pertama kali di Tiga Raja, terasa sekali bedanya orang Batak disini dengan orang di Kota Medan dari cara bicaranya. Orang Batak terkenal bersuara lantang, bagi yang tak terbiasa pasti terdengar seperti marah-marah. Kadang saat mereka sedang menawarkan barang dagangan, aku terkaget-kaget dengan kelantangan suara mereka. Namun jangan khawatir, mereka tidak bermaksud jahat atau menakuti kita. Ini hanya masalah perbedaan karakter saja, perbedaan budaya antar bangsa Indonesia,. Perbedaan-perbedaan seperti ini hanya bisa kita nikmati ketika kita traveling.
Jangan heran juga ketika malam hari terdengar suara sayup-sayup orang bernyanyi dan bermain gitar di Lapo setempat. Orang Batak memang suka sekali berdendang. Kalau sudah di Lapo, coba icip-icip minuman alkohol tradisional milik orang Batak, namanya tuak. Rasanya oke, tapi baunya itu lho, duh! Aku pribadi kurang suka dengan baunya yang apek.
Icip-icip Makanan khas Sumatera Utara
Sumatera Utara adalah surganya makanan! Apalagi makanan orang Batak rasanya khas dan lain dari yang lain. Itu karena ada tanaman khusus yang hanya bisa tumbuh di Danau Toba, bernama Andaliman. Andaliman ini biasa digunakan untuk membuat sambal, karena itu sambal disini terasa khas pedasnya.
Selain makanan-makanan macam babi panggang dan saksang (babi juga), ada juga arsik yaitu ikan mas yang dibumbui kuning dan terasa agak pedas. Lalu singkong tumbuk Batak yang rasanya tidak ada duanya dengan santannya yang kental. Coba juga teri medan yang dimasak dengan sambal merah, mie Gomak yang rasanya gurih pedas, semua serba pedas! Bagi pecinta kuliner pedas, berada di Sumatera Utara serasa di surga.
Bagi yang tidak bisa menyantap daging babi, banyak juga restoran dengan label halal di Tuktuk, jadi jangan khawatir untuk mencicipi kuliner disini ya.
***
Danau Toba memberikan impresi tersendiri dan membuatku ingin mengunjunginya lagi jika diberi kesempatan. Tertarik pergi ke danau kece ini? Di jamin nggak akan nyesal!