Sentilan dari Seorang Pemain Gamelan tentang Kehidupan
Nasehat sederhana dan mungkin lumrah, namun bagi saya itu sangat bermakna
Bekerja penuh waktu selama 5 hari telah menimbun penat. Lalu, akhir pekan kemarin, saya isi dengan iseng jalan-jalan di kawasan Malioboro.
Sepulang dari menjelajah Malioboro dalam sebuah kegiatan, terbesit dalam pikiran untuk mampir ke Museum yang lokasinya tidak jauh dari titik nol kilometer Yogyakarta. Sebenarnya sudah lama berkeinginan untuk bertandang kesini, namun selalu kurang beruntung. Museum sudah tutup beroperasi lah, tiba di Museum dengan keadaan basah kuyub karena kehujanan lah, pokoknya ada saja rintangannya.
Begitu memasuki pintu masuk Museum Sonobudoyo, mata saya berputar dan mulai mengamati sekitar. Sepi, hanya nampak beberapa motor yang sedang parkir. Museum ini memang sedikit tersembunyi. Jika matamu kurang jeli akan sulit sekali menemukannya. Ketika kaki kiri mulai memijak tanah sebelum mematikan mesin kendaraan, saya merasa ada sepasang mata yang mengintai.
Pandangan saya reflek mencari ke arah sumber intaian tersebut. Rupanya ada seorang lelaki yang mungkin sebaya, beranjak dari pintu masuk kemudian menuju area dalam museum. Saya mulai mengabaikan pandangannya dan kembali fokus melangkahkan kaki menuju pintu masuk Sonobudoyo.
Mengunjungi museum adalah wujud kecintaan saya pada Tanah Air
Mengapa saya begitu tertarik untuk datang kesini? Alasan saya cukup sederhana, saya sangat mencintai segala sesuatu yang dimiliki oleh Tanah Air. Mulai dari keberagaman masyarakatnya sampai kesenian budayanya. Tidak bermaksud ingin berlebihan, saya kadang suka merinding ketika menonton sebuah kesenian dari manapun. Maka dari itu, saya selalu berusaha menjejalkan waktu khusus untuk main ke museum saat akhir pekan atau jalan-jalan.
Saya menemui meja tamu masih kosong, tak dijaga. Hanya disambut oleh koleksi gamelan dan seorang lelaki yang tak terlihat muda, jika boleh menebak mungkin usianya sekitar 40-50 tahun. Lelaki tua itu sedang asyik memainkan gamelan sambil menyenandungkan gending Jawa.
Tak berapa lama, saya dikagetkan oleh suara laki-laki dewasa ketika sedang asyik mengamati pemain gamelan di ujung sana. Oh, ternyata si pemilik sepasang mata yang megintai sedari tadi sedang ada di hadapan saya. Ia lalu menyodorkan buku tamu untuk diisi dan menyiapkan tiket masuk. Tidak lupa menawarkan diri untuk mendampingi saat berkeliling Sonoboyo, saya tanpa ragu mengiyakan.
Berkunjung ke museum itu seperti sedang membaca buku, banyak tahu hal-hal baru
Setelah mengeluarkan recehan 3ribu rupiah, perjalanan kami mengelilingi museum dimulai. Begitu memasuki bagian utama museum, saya disambut sebuah singgasana yang digunakan oleh Raja untuk berdoa kepada Dewi Sri yang merupakan simbol dari kesuburan dan dimaknai kesejahteraan. Guide museum menjelaskan alasan pemujaan terhadap Dewi Sri karena sebagian besar mata pencaharian rakyat Yogyakarta adalah sebagai petani.
Bagian utama museum ini digunakan untuk ruang pengenalan dan cukup bisa menjelaskan bahwa koleksi Museum merujuk pada jejak langkah peradaban di tanah Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Banyak hal baru yang saya dapat ketika melihat koleksi yang dipamerkan sambil menyimak penjelasan singkat dari guide.
Seperti sedang membaca sebuah buku, saya menjadi tahu hal-hal baru. Seperti soal topeng ternyata banyak macamnya, tergantung dari mana tempat berasal. Topeng bisa menjadi ciri khas sebuah daerah, mulai dari detail karakter muka hingga proses pewarnaan. Topeng yang berasal dari Yogyakarta jelas berbeda dengan topeng dari Cirebon, bahkan dari Bali atau Madura. Seperti topeng dari Bali dan Cirebon, bentuk matanya saja jelas berbeda. Bentuk mata topeng dari Bali cenderung lebih lebar. Begitupun soal pewarnaan, topeng dari Bali cenderung lebih berwarna.
Demikian pula dengan pengetahuan soal Wayang yang jenisnya beragam. Mulai dari Wayang Klithik, Wayang Hindu, Wayang Golek, Wayang untuk cerita anak, Wayang tentang Wali Songo sampai wayang yang khusus bercerita mengenai jaman penjajahan pun ada. Luar biasa!
Berjumpa dengan Pak Waris, pemain Gamelan yang memberikan nasihat sederhana pada saya
Unit demi unit sudah kami lalui dan guide menyarankan saya untuk berkeliling sekali lagi sebelum ia undur diri. Saya mengangguk dan mengucapkan banyak terimakasih, kemudian saya berjalan ke arah kursi kosong yang tersedia di dekat pintu masuk. Menikmati rangkaian nada dari Gender yang dimainkan dari seberang. Lelaki tua itu tak berhenti menyenandungkan gending Jawa.
Gender adalah alat musik pukul logam (metalofon) yang menjadi bagian dari perangkat gamelan Jawa dan Bali
Sebelumnya, guide menjelaskan bahwa pengunjung punya kesempatan untuk belajar memainkan gamelan dengan cuma-cuma, namun saya urung punya niat untuk ambil kesempatan itu. Saya sekadar ingin menikmati dan cukup mengabadikannya menggunakan ponsel sebagai cindera mata dari Sonobudoyo.
Saking menikmatinya, tak sadar langkah saya malah mendekat sambil tetap membidik menggunakan kamera ponsel. Sekilas pemain gamelan tersebut seperti melambaikan tangan. Saya sempat terdiam menatap ke arahnya. Pada akhirnya sepasang kaki ini melangkah lebih dekat.
Pemain gamelan menanyakan pertanyaan standar yang sering dilontarkan ketika bertemu orang baru, seperti menanyakan asal dan tujuan datang kemari.
“Kok sendirian saja, Mbak? Mana temannya?” tanyanya dengan nada penasaran.
Saya hanya tersenyum getir dan mulai menggerutu dalam hati ‘Memangnya kenapa kalau saya jalan-jalan sendirian? Aneh?’.
“Tadi sebenarnya berbanyak, Pak. Ada acara di Malioboro, sepulang dari acara saya pengin mampir sini.” Jawab saya sekenanya.
“Ya teman intim, gitu lho Mbak. Kok sendirian aja?”
Lagi-lagi saya hanya bisa menjawabnya dengan senyum getir sambil mencari tempat nyaman untuk duduk yang tak begitu jauh darinya. Kami hanya dipisahkan Gender yang sejak tadi beliau mainkan.
Tuhan mengirimkan Pak Waris untuk mengingatkan saya agar selalu mawas diri
Serangan pertanyaan darinya tak kunjung henti. Awalnya risih dengan pertanyaan-pertanyaan itu jika sedang jalan-jalan sendiri. Saya harus santai menghadapinya. Menghadapi pertanyaan seperti itu saja sudah kalang kabut, lalu bagaimana saat menghadapi kehidupan yang kadang getir?
Sebenarnya pertanyaan seperti itu biasa saja. Mungkin tidak ada artinya, sekadar basa-basi. Namun, sangat berbeda maknanya ketika pertanyaan tersebut dilontarkan saat sedang jalan sendiri atau dalam proses untuk melewati hal-hal yang menyedihkan, seperti moving on misalnya. Tiba-tiba ada perasaan sedih yang muncul ketika mendengarnya. Atau saya saja yang terlalu sensitif?
Beliau juga bercerita bagaimana proses banting setir profesi yang sebelumnya menjadi pekerja bengkel hingga akhirnya menjadi pemain gamelan. Saya hanyut dalam cerita bahagia di masa lalu sambil berusaha fokus pada ucapan Pak Waris, lelaki yang mengenakan atribut pakaian tradisional Jawa lengkap sambil memainkan pemukul Gender.
Sebelumnya, Pak Waris sempat menanyakan profesi dan kisaran umur. Saya menjawabnya tanpa ragu. Namun, lagi-lagi kalimat yang terucap dari mulut Pak Waris menyentil hati;
“Jangan terlalu sibuk bekerja atau asyik sendiri, Mbak.. Waktu cepat berputar jika terlalu sibuk. Tau-tau udah tahun baru lagi. Waktu cepat berlalu, otomatis umurmu semakin tua”
Sepenggal kalimat yang menohok itu membuat saya memutar memori ke belakang. Ngapain saja saya selama ini? Apa sih yang sudah saya hasilkan? Ya, obrolan ringan dengan Pak Waris membuat saya harus mawas diri.
Jangan-jangan saya terlalu sibuk, kemudian tercipta jarak dengan orang-orang yang saya kasihi. Jangan-jangan saya hanya memikirkan duniawi dan melupakan kesehatan jiwa. Tidak seharusnya terlalu asyik bekerja kemudian saya lupa untuk bercengkrama dengan orang terkasih dan melupakan hobi yang sangat penting bagi keseimbangan jiwa.
Nasihat yang mungkin biasa dan lumrah, namun bagi saya ini sangat bermakna. Bagai alarm kehidupan yang dikirim oleh Tuhan, inilah yang saya sukai dari sebuah perjalanan. Tidak hanya menambah wawasan namun juga mendapat pelajaran sederhana tentang kehidupan yang mungkin kita lupakan. Terima kasih Pak Waris atas nasihat sederhana nan bermakna.
***