Jogja Selalu Punya Cerita
Jogja pagi ini sangat menenangkan.
Alunan lagu jawa dari tetangga samping penginapan, kecipak air dari ikan yang berenang dikolam kecil- ini favorit saya dari penginapan Rumah Eyang- roti yang diiris segitiga dengan selai kacang didalamnya ditemani secangkir kopi hangat menjadi kombinasi sempurna.
Galuh Larasati -saya memanggilnya Bu Ati, beliau seorang penulis sekaligus pemilik penginapan ini. Mukanya nampak lelah, namun matanya tak pernah kuyu, selalu terlihat 'hidup' dan bersemangat.
Kami berbincang banyak pagi itu, tentang kehidupan dan juga tentang sesuatu yang mematikan kehidupan.
'Minum kopi sambil memainkan gadget itu tidak baik'
Saat mengobrol, saya minum kopi sembari memainkan gadget, sekadar mengecek linimasa pagi itu. Tiba-tiba Bu Ati berkata,
'Dalam hidup, kita harus selalu fokus pada apa yang kita kerjakan. Saya mendengar banyak orang yang mengaku 'multi-tasking'. Saya bukan tak percaya dengan kemampuan itu, memang banyak orang yang mampu mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, tapi konsekuensinya hidup kita mungkin akan menjadi seperti robot. Tak ada 'bekas' yang tersisa dari apa yang kita kerjakan, seolah semua cuma sekadar lewat. Contoh paling kecil, minum kopi sambil bermain gadget,' Bu Ati melirik saya lucu sambil tertawa.
Merasa disindir, saya salah tingkah.
'Maaf Bu, lagi ramai soalnya di twitter,' saya tersenyum malu.
'Santai saja Mas. Saya tak bermaksud menyindir, hanya memberi contoh. Saat minum kopi, alangkah baiknya kita diam, merasakan setiap sesapan. Kita bisa benar-benar menikmati kopi itu, tanpa ada gangguan dari luar. Begitu pula saat mengerjakan sesuatu. Saat ini saya sedang menulis novel trilogi Nawung. Saat menulis, saya benar-benar hanya menulis, tak melakukan hal lain. Sehingga saya benar-benar menikmati proses kata demi kata yang saya tulis,' Bu Ati tersenyum.
Menjadi manusia seutuhnya
'Jadilah manusia yang baik, bukan sekedar Islam yang baik, Kristen yang baik, Katolik yang baik, Hindu yang baik atau Budha yang baik,' Bu Ati melanjutkan ceritanya.
Saya tak paham dengan ucapannya. Beliau menerangkan agar saya tak salah mengerti.
'Pada dasarnya, semua agama di dunia ini baik. Tak ada yang mengajarkan hal jahat. Namun terkadang, manusia itu hanya melihat dari kacamata kuda. Saat sudah fanatik pada salah satu kubu, pandangannya bisa menyempit. Dunia tak bisa dilihat dari 1 sudut pandang, jika melakukannya kita akan menjadi manusia picik.
Belajar memandang permasalahan dari berbagai sisi suatu saat akan menolong kita mendapat jalan keluar.'
Arti sesungguhnya dari "Bekerja"
'Dulu saya bekerja sebagai public relation salah satu hotel bertaraf internasional di Kota Jogja. Bisa dibilang, saya tak kekurangan suatu apapun. Gaji dan fasilitas yang diberikan lebih dari cukup. Hanya saja, akhirnya saya sampai pada titik dimana "ini bukan kebahagiaan yang saya inginkan". Orang berkata saya bodoh, membuang semua yang sudah saya dapat selama 14 tahun bekerja disana. Karir, materi, fasilitas, jaminan hari tua. Namun saya tahu, nurani saya berkata, saya tak bahagia,' Bu Ati masih melanjutkan ceritanya.
Bu Ati diam sejenak. Dia mendongakkan kepala ke langit-langit. Matanya nampak memerah.
'Saya menginginkan kebebasan. Saya tahu, sampai kapanpun manusia tak akan pernah bebas seutuhnya. Hanya saja, sekadar kebebasan 'kecil' untuk melakukan hal-hal yang saya suka, tanpa harus terikat jam kantor segala macam, itu cukup bagi saya. Kini, saya membuat buku, membuat galeri seni di penginapan ini, juga mempersiapkan film animasi adaptasi dari buku saya, sangat melelahkan. Tapi saya menyukainya. Saya merasa jauh lebih 'hidup' sekarang,' Bu Ati selalu mengakhiri ceritanya dengan tertawa kecil. Saya menyukai tawanya. Tawa yang tak terikat.
"Terkadang, saat kita pasrah dan ikhlas, kebaikan akan datang"
'Awal saya keluar dari pekerjaan, saya sempat mengalami masalah keuangan. Saat itu saya tidak memiliki pemasukan tetap. Situasi bertambah parah setelah bencana gempa Bantul kala itu. Pariwisata mendadak sangat sepi. Beberapa bulan penginapan kosong. Bahkan hingga saya tak mampu membayar tagihan listrik. Pagi itu saya mendapat pemberitahuan jika pukul 12.00 siang listrik akan diputus. Saya hanya bisa pasrah. Menangis pun percuma. Saya duduk di tempat kamu duduk sekarang. Diam, memandang sekeliling, mengamati setiap sudut penginapan,' Bu Ati bercerita sembari menerawang kejauhan.
'Saya pikir saat itu, biarlah listrik diputus, malam masih bisa pakai lilin, tak ada AC pakai kipas manual, menyuci juga biasanya saya menyuci tanpa mesin, dan saya juga tak pernah menonton tv, semua akan baik-baik saja. Daripada duduk diam, saya memilih bersih-bersih penginapan, merombak desain tata ruang, merapikan pajangan-pajangan, hingga tak terasa hari sudah siang. Saat jarum pendek menunjuk angka 11, saya mendapat kabar luar biasa baik. Upah menulis masuk rekening, lebih cepat dari tanggal biasanya, saya tak tahu kenapa. Jumlahnya lebih dari cukup dari sekadar membayar tagihan listrik. Lalu, langganan penginapan saya tiba-tiba menelpon memesan kamar untuk rombongannya berjumlah belasan. Saya serasa langsung ingin berteriak bahagia. Saya tertawa seorang diri saat itu.'
Dunia ini memang lucu. Saat kita ngotot mengejar sesuatu, kita sering gagal mendapatkannya. Saat kita ikhlas, berbagai kebaikan datang bertubi-tubi - Galuh Larasati
***
Kami mengakhiri obrolan karena tiba-tiba Bu Ati mendapat telepon untuk segera berangkat Magelang, persiapan pemutaran film animasi yang diadaptasi dari bukunya, berjudul Nawung. Sekarang Bu Ati tiap hari harus bolak-balik Jogja - Magelang. Bagi orang lain terdengar melelahkan. Namun seperti yang beliau ceritakan, beliau sangat menikmatinya, karena itulah bidang yang beliau sukai.
Jogja selalu penuh cerita. Banyak ilmu tentang kehidupan disini. Mungkin itu salah satu alasan mengapa banyak orang mencintai Jogja.